Perang adalah sebuah fenomena sosial yang disebabkan oleh pertentangan yang mengakibatkan disorganisasi sosial dalam aspek kemasyarakatan. Menurut Carl Von Clausewitz, Perang adalah tindakan kekerasan tanpa batas. Perang merupakan sebuah upaya kelanjutan dari politik dengan cara lain apabila sebuah kesepakatan dari negosiasi yang diperoleh antara pihak-pihak yang terkait tidak tercapai. Dalam memahami perang, ada dua ilmu sosial humaniora populer yang membahas akan hal ini, yakni ilmu hukum dan ilmu hubungan internasional. Kedua ahli maupun sarjana di kedua bidang ini memiliki cara pandang dan filosofi yang berbeda dalam memahami fenomena ini karena fokus mereka berbeda dalam melihat apa? Bagaimana? Mengapa? Dan Siapa? Mengenai terjadinya suatu perang.
Perspektif perang menurut ahli hukum
Dalam ilmu hukum, para sarjana memiliki sub-bidang yakni hukum internasional. Sebenarnya, sarjana maupun ahli hubungan internasional juga belajar tentang sub-bidang ini. Namun, ahli hukum menganggap berpendapat bahwa perang diangggap sebagai fenomena yang harus diatur untuk memastikan bahwa tindakan negara-negara yang terlibat tetap berada dalam kerangka hukum yang diakui secara global. Pendekatan seorang ahli hukum dalam memandang perang cenderung lebih normatif dan berbasis pada aturan yang disepakati (berdasarkan konsensus yang dicapai).
Hugo Grotius dalam karyanya yang berjudul The Rights of War and Peace : Book 2, menyatakan bahwa perang dapat menjadi just war apabila dilakukan untuk pertahanan, merebut kembali hak kepemilikan, dan sebagai hukuman atas pelanggaran yang dilakukan. Konsepsi just war dirumuskan oleh Hugo Grotius berdasarkan pengamatan Cicero, dimana tidak ada binatang yang tidak ingin tubuhnya utuh dan hidup lama, semua binatang akan melakukan pertahanan diri apabila diserang, dan menjaga diri tetap hidup dengan makan. Hal ini memberikan pandangan bahwa beberapa perang tidak bertentangan dengan hukum alam. Selanjutnya, epistimologi dari dari ahli hukum mengenai perang tercantum dalam dua adagium yang berbunyi Jus ad Bellum dan Jus in Bello yang berarti
- Jus ad Bellum, yaitu hukum tentang perang yang mengatur bagaimana suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata; dan
- Jus in Bello, yakni hukum yang berlaku dalam perang.
Pada adagium yang berbunyi Jus in Bello, cabang ilmu hukum yakni Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai International Humanitarian Law dapat mengimpelementasikan adagium ini dalam dua ketentuan yang disepakati dalam Konvensi Jenewa 1949. Dua aturan tersebut meliputi :
- Ketentuan hukum yang mengatur cara perang dilakukan (conduct of war).
- Ketentuan hukum yang mengatur perlindungan orang yang menjadi korban sipil atau militer .
Seperangkat aturan ini dibuat untuk mencegah kepunahan massal dan mencegah dampak buruk yang lebih lanjut akibat adanya perang yang dapat mengancam keberlangsungan hidup umat manusia. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Antonio Cassese yang dituangkannya dalam bukunya yang berjudul “International Law” yang berkoherensi dengan konsep kedaulatan. Ahli hukum juga berpegang pada gagasan kedaulatan negara dan pentingnya menjaga sistem hukum internasional agar tidak ada negara yang bertindak sewenang-wenang. Jika ada suatu negara yang melanggar hukum yang telah disepakati dalam Konvensi Jenewa ini, negara tersebut dapat dilaporkan ke Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) yang dibawahi langsung oleh PBB yang mengurusi hal yang terkait dengan tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Perspektif perang menurut ahli hubungan Internasional
Ilmu hubungan internasional dikategorikan sebagai dari bagian ilmu sosial humaniora dan politik. Ilmu ini mempelajari tentang baik atau buruknya hubungan antar suatu negara dengan negara-negara lainnya. Ahli hubungan internasional memandang perang sebagai bagian dari dinamika kekuasaan, kepentingan nasional, dan interaksi antarnegara. Meskipun dalam hubungan internasional, para sarjana maupun ahli juga mempelajari hukum internasional. Pendekatan mereka lebih empiris dan berfokus pada motif, aktor, serta struktur sistem internasional dengan mengesampingkan norma-norma dan regulasi hukum yang berlaku. Filosofi perang dari para ahli hubungan internasional dapat ditelusuri dari buku “Politic Among Nations” karya Hans J. Morgenthau pada tahun 1948 yang menjadi acuan dari pemikiran realisme klasik dalam politik internasional. Secara garis besar. Ahli hubungan internasional terpecah menjadi tiga aliran dalam memahami suatu perang sebagai bagian dari konflik politik, yakni :
- Realisme: Dalam tradisi seperti yang diuraikan oleh Thucydides dan Hans Morgenthau, perang dianggap sebagai hasil dari konflik kepentingan antara negara. Realis berpendapat bahwa perang adalah fenomena yang tak terhindarkan dalam sistem internasional anarki (tanpa otoritas supranasional).
- Liberalisme: ahli hubungan internasional yang berorientasi liberal, seperti Immanuel Kant percaya pada potensi perdamaian melalui kerjasama, hukum internasional, dan organisasi internasional seperti PBB.
- Konstruktivisme: Pandangan konstruktivis, yang diwakili oleh pemikir seperti Alexander Wendt, menekankan bahwa perang dan perdamaian sangat dipengaruhi oleh norma, identitas, dan persepsi negara.
Para ahli hubungan internasional cenderung menggunakan analisis kekuatan (power dynamics) untuk memahami perang, termasuk faktor seperti aliansi, perlombaan senjata, atau kegagalan diplomasi. Ini semua merupakan dari pemikiran ontologis tentang bagaimana setiap negara memiliki kepentingan strategis. Misalnya, untuk mempertahankan sumber daya atau memperluas pengaruh geopolitik.
Kesimpulannya adalah Ahli hukum dan ahli hubungan internasional memandang perang dari sudut yang berbeda namun saling melengkapi. Perspektif hukum berfokus pada aturan dan legitimasi, sementara perspektif hubungan internasional menekankan pada dinamika kekuasaan dan kepentingan strategis. Hukum memandang sebuah fenomena perang secara normatif. Sedangkan Hubungan Internasional memahami fenomena perang secara empiris. Keduanya penting untuk memahami dan mengelola konflik global secara komprehensif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI