Untuk kedua kalinya, Kebumen mengadakan Color Run, dimulai dengan Kutowinangun Festival 2015 yang memperingati HUT RI dan kemudian disusul oleh Kebumen Color Party untuk memperingati Hari Jadi ke-80 kota Kebumen. Tulisan saya dibawah ini dibuat karena berbagai ragam komentar yang mengkritisi tentang acara ini, yang pada akhirnya memaksa saya untuk mendalami betul tentang acara ini.
Â
1. Sejarah Color Run
Color Run pertama kali di perkenalkan oleh India sebagai bentuk holi celebration dimana perayaan ini diadakan pada musim semi untuk merayakan kehidupan yang baru sebagai sebuah energi, perayaan ini dipercaya telah ada sejak 300 SM. Kemudian, budaya ini diadopsi oleh Travis Snyder pada Januari 2012 di Arizona, dan mulai dipopulerkan di Amerika Serikat. Color Run disebut juga sebagai Festival of Colors sebagai simbol suka cita, to create happiness and lasting memories.Â
Jika menelusuri sejarah panjang mengenai acara ini, maka kita akan disajikan oleh legenda Holi. Di dalam kisah diceritakan bahwa Holika (setan yang berwujud perempuan yang merupakan putri dari Hiranyakashap, raja setan) berniat untuk membunuh Prahalad, namun keinginannya gagal tercapai dan akhirnya tahta kerajaan diambil oleh Prahalad yang menjadi raja bijaksana. Untuk merayakan hal tersebut, digelarlah holi celebration, dimana warna-warni pada serbuk sebagai simbol suka cita.Â
2. Sejarah yang dikemas secara Baru
Meskipun sejarah mengungkapkan bahwa Color Run memiliki akar agama yang kuat, namun kegiatan keagamaan nampak tak terlibat dalam acara ini. Pada umumnya, masyarakat Hindu membakar api unggun dan berdoa sebagai ritual keagamaan mereka seraya merayakan Khrisna dan legenda Holika dan Prahalad. Sebuah festival yang dipandang bagus untuk masyarakat India, karena mempersatukan segala kasta tanpa memandang kelas, usia, dan jenis kelamin. Acara ini biasanya dilaksanakan pada Februari-Maret, sebuah festival yang sangat riang dengan menaburkan bubuk pewarna, menari, dan menyanyi.
Memasuki ranah Indonesia, sejarah ini di kemas secara baru dengan menanggalkan aspek agama, kepercayaan, dan nilai budaya yang membubuinya. Indonesia merupakan negara yang aktif dalam menjalankan event ini dan sama seperti acara di daerah-daerah Indonesia lainnya, Kebumen Color Party menyajikan acara yang dilengkapi dengan senam masal, jalan sehat, lari gembira dan gowes.
3. Pop Culture dan Westernisasi
Pop Culture dan westernisasi menjadi sosok yang dominan dibalik Color Run sebagai bentuk modernisasi zaman. Masuknya budaya barat dan akulturasi budaya menyembabkan penyempitan dalam pola berfikir dan bersikap. Dimulai dengan timbulnya rasa ingin meraih kebebasan (liberalisme) seperti orang barat yang secara tak sadar mengubah style dan the way of life.Â
Pop Culture adalah budaya yang meminimalkan sekat perbedaan kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat yang lainnya yang membatasi kesempatan orang dalam mempratekkan suatu budaya. Budaya populer ini dapat berlangsung secara terus-menerus di Indonesia, dan untuk kedua kalinya di Kebumen karena kehendak penguasa dari ideologi kapitalisme. Sedangkan Westernisasi lebih mengacu pada sebuah proses yang mengikuti segala bentuk gaya hidup bangsa barat. Adapun pengertian lain, westernisasi adalah suatu perbuatan seseorang yang mulai kehilangan nasionalisme yang meniru atau melakukan aktifitas kebarat-baratan.
4. Berbagai Dampak yang ditimbulkan
Dampak positif:
- Color Run disajikan untuk kesenangan; tidak ada kompetisi lari, tak ada batasan usia, dan semua orang berkumpul dengan 'pakaian yang sama' (tidak ada kelas pembeda).
- Tingginya animo masyarakat menyambut penyelenggaran event tersebut.
- Kebumen miskin hiburan, bisa dibilang setiap ada hiburan pasti didukung penuh oleh masyarakat Kebumen, jadi event Kebumen Color Party membuat warga tampak bahagia.
Dampak negatif:
- Terkikisnya nilai-nilai budaya lokal; lebih bangga dan terbuka atas budaya yang berasal dari luar.
- Jati diri dan identitas pun mulai melemah, tren populer seolah menjadi penghias kehidupan dengan mengesampingkan seni dan budaya yang ada di dalam daerah sendiri.
- Lingkungan menjadi kotor akibat sampah-sampah berserakan karena banyaknya masyarakat yang memadati event tersebut; kurangnya tempat sampah dan kesadaran dalam menjaga lingkungan.
- Menunjukkan peningkatan pada nilai eksitensi diri dan narsisme di media sosial, dan berdampak pula pada kesenjangan sosial mengingat event Color Run merupakan event yang biayanya tidaklah murah.
- Pihak penyelenggara acara mendapatkan keuntungan yang besar dari pop culture.
- Gaya hidup glamour dan menyebabkan euforia yang tertanam secara tak langsung dalam diri seseorang.
- Menimbulkan masyarakat yang konsumtif.
- Culture shock, yakni ketika individu memasuki budaya yang baru, tetapi ia masih memegang kepercayaan dan nilai budaya dari sebelumnya sehingga menimbulkan kebingungan dan rasa kehilangan identitas kulturalnya.Â
- Menyebabkan multi efek, yang dirasa baik kebudayaan Indonesia ataupun kebudayaan daerah Kebumen akan ditanggalkan jika terus-menerusnya memasukkan budaya asing di dalam.
Â
Demikianlah tulisan ini saya paparkan, akan selalu ada komentar positif dan negatifnya. Saya selaku penulis lebih memilih membuka mata yang lebar tentang apa yang saya amati dan apa yang kiranya perlu untuk dituangkan. Dengan adanya era globalisasi ini, semakin menekan proses akulturasi budaya terutama pengaruh budaya barat, yang kiranya perlu kita perjuangkan adalah apa yang 'tlah kita miliki dalam budaya kita. Salam budaya.
Â
Penulis:
Rezky Abdillah Faisal
Â
Sumber:
The Clash of Civilization by Samuel P. Huntington
Introductory Perspective by Marcel Danesi
Ward, Bohner & Furnham, 2001
Ibid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H