Mohon tunggu...
Rezaafaa
Rezaafaa Mohon Tunggu... -

Manusia yang terbatas akan keinginan, harapan, dan citanya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mewabahnya Akar Hedonisme

18 Januari 2012   10:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:43 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_163636" align="aligncenter" width="211" caption="Image By: Google"][/caption]

Hedonisme adalah filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah hal paling utama, paling penting untuk dikejar dan diperjuangkan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani hedone yang artinya 'kenikmatan'. [1]

Indonesia sedang tumbuh pada masa-masa mewabahnya akar hedonisme. Hedonisme sendiri merebak begitu banyak dan dapat dijumpai dimana-mana, seperti jamur yang tumbuh pada musim penghujan, ia mewabah dan menimbulkan banyak beban dan pengaruh negatif dalam kontekstual kehidupan bermasyarakat. Hedonisme erat kaitannya dengan pemenuhan nafsu, mengejar kekayaan, menghambur-hamburkan uang, bersikap tidak peduli terhadap lingkungan, dan keinginan yang tiada batas. Apabila hal ini terjangkiti dalam diri seseorang, maka nafsu dan keinginannya akan memuncak, ia akan berusaha memenuhi apa yang diinginkannya, dia tidak akan segan-segan untuk berusaha keras mencari jalan agar pemenuhannya itupun dapat segera tercapai, bahkan cara-cara kotor pun biasanya mengalir seiring terjangkitnya virus hedonisme dalam diri seseorang tersebut. Ketika satu keinginan terpenuhi, ia akan segera mencari keinginan yang lain bahkan memupuk dan mempertahankan kepuasan serta keinginannya. Dan ketika tubuh sudah dilanda oleh nafsu, ketika nafsu itu semakin membesar dan semakin mewabah di dalam diri seseorang, maka kesehatan pemikiran dan jiwanya pun akan terganggu. Ia akan menjadi takut, kalau-kalau keinginannya tidak akan tercapai dan dia khawatir akan jatuh dalam jurang kemiskinan ataupun penderitaan. Bangga, bahagia, dan boros adalah kata-kata yang melekat pada diri seorang Hedonis. Dia bangga dengan apa yang ia capai, dengan gelar, pekerjaan, ataupun penghidupan yang ia capai. Dengan bangganya ini, ia akan mudah terombang-ambing dalam arus kesombongan dan kemewahan. Karena jika kebanggaan ini sudah melewati batas, ia akan semakin berbangga diri dan dalam dirinya menyiratkan arti kesombongan. Dia berjalan diatas kemewahan dalam penderitaan orang lain. Terlalu berbangga diri akan menyebabkan kemunafikan dalam diri seseorang, dia bisa saja memuji dengan apa yang ia capai dan merendahkan orang lain yang tidak bisa sepertinya atau menyainginya, inilah pencapaian bagi orang-orang Hedonis.

Dalam pergaulan zaman sekarang, sebagian kaum muda (terutama anak gaul) seringkali diidentifikasikan dan atau mengidentifikasikan diri dengan kaum hedonis dengan ciri materialis, "menginginkan kesenangan belaka" - yang disamakan dengan sex, drugs, rock 'n roll, party, and violence - tanpa beban aturan, tanpa tanggung jawab, dan tanpa tujuan hidup yang jelas. Menghabiskan waktu hanya untuk main kartu, gitar, nongkrong tidak karuan, bersenang-senang dengan pacar, dan tidak mau memperjuangkan idealismenya. Lihat saja, tampaknya masih banyak remaja yang kekurangan sense of crisis ditengah badai ini. Banyak juga yang, misalnya belum sadar mengapa mereka berdemonstrasi, hanya mengikuti mode, penuh dengan fesyen tertentu, hura-hura politik, dan tidak mau dianggap ketinggalan cerita. Semakin banyaknya perkelahian pelajar, juga mengisyaratkan tidak mau kalahnya sebagian anak muda kita dengan orang tuanya yang mempunyai hobi baru: kerusuhan dan kriminalitas. [2]

Kebahagiaan bukanlah merasakan nikmat sesaat, melainkan yang bertahan seumur hidup. Lebih baik sakit sesaat untuk merasakan nikmat yang lebih lama. Nikmat yang berlebihan kerap kali menghasilkan perasaan sakit. Sebaliknya, menghindari hal yang menyakitkan justru merintangi kita dari pengalaman menyenangkan. Pengendalian diri amatlah penting disini. Di satu sisi, kita harus puas hidup sederhana, sementara di pihak lain kita harus memakai penalaran (akal) untuk membebaskan diri dari ketakutan yang tidak perlu. Dengan kemampuan mengendalikan diri dan kepandaian memilih rasa nikmat atau sakit, seorang bijak dapat merasakan kenikmatan. Orang bijak akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan. [3]

Karena apakah virus hedonisme ini dapat berkembang dalam kehidupan kita?

1. Hilangnya figur kepemimpinan

[caption id="" align="aligncenter" width="262" caption="Image By: www.easyvectors.com"]

Image By: www.easyvectors.com
Image By: www.easyvectors.com
[/caption] Pemimpin adalah figur penguasa, penuntun, dan pembimbing bagi rakyatnya. Pemimpin berperan sangat vital terhadap masa depan rakyatnya, ia mempunyai jiwa kepemimpinan dan berhak untuk mengorganisir rakyatnya. Apabila rasa hedonisme tumbuh didalam pemikiran seorang pemimpin, maka jelaslah bangsa akan carut-marut, tidak jelas akan arah dimana mereka harus berpijak, karena hidupnya dikontrol dengan seorang pemimpin, maka ia harus taat dan patuh mengemban perintahnya, dan hanya beberapa orang yang bergerak melawan konsep pemikiran ideologisme yang mulai memudar. Bagi para penganut etika hedonisme, kesenangan atau kenikmatan merupakan nilai tertinggi dalam hidup mereka. Sadar atau tidak, banyak remaja yang menempatkan kenikmatan seksual, kenikmatan materiil, atau kenikmatan intelektual, sebagai nilai tertinggi dalam hidup mereka. [4] Hedonisme erat kaitannya dalam mengagungkan keindahan dunia dan pola hidup konsumtif; seolah dunia berada di genggamannya, karena figur seorang pemimpin jelaslah mengontrol kepemimpinan bangsanya. Hedonisme sangat mempengaruhi gaya hidup, kecintaannya pada sesuatu membuatnya ia lupa akan perikehidupan rakyatnya. Mungkin kekuasaannya terhadap rakyat, segala kebutuhan dan keinginan yang tercapai, cita-cita dan harapan yang luas yang dapat dengan mudah diraihnya; menjadikan ia buta terhadap kebahagiaan itu sendiri, dia sudah terhanyut dalam kemewahan dan kebanggaan diri, sehingga semakin jelaslah perbedaan antara kaum kaya dengan kaum miskin. Jika, hedonisme ini semakin berkembang dalam jiwanya, maka dinding jurang pemisah antara kaum kaya dan miskin pun terpelihara; yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Kita lihat terhadap kontekstual bangsa Indonesia saat dahulu, sekarang dan masa depan, karena sejarah sangatlah penting bagi konsep pemikiran kita saat ini. Kita lihat semakin banyaknya jumlah kriminalitas dan kejahatan yang semakin melanda Indonesia. Salah siapakah ini? Pemimpin, orang itu sendiri, moral mereka, lingkungan, pendidikan, atau agama mereka? Menurut Oscar Lewis, ciri-ciri orang miskin adalah: dekat dengan kriminalitas, menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan gaya hidup yang konsumtif. Kita lihat makin banyaknya hukum-hukum Indonesia yang memenjarakan orang miskin dan memberikan hukuman yang ringan kepada mereka yang kaya, menteri-menteri DPR yang menuntut kemewahan dan kemegahan, aparat-aparat dan pemimpin-pemimpin yang semakin mempertebal angka kemiskinan dan penderitaan. 2. Dampak Pengaruh Media

[caption id="" align="aligncenter" width="422" caption="Image By www.resourcesgraphics.com"]

Image By www.resourcesgraphics.com
Image By www.resourcesgraphics.com
[/caption] Media secara tidak sadar mengontrol alam bawah sadar pikiran kita, yang menjembatani antara sikap dan perilaku kita. Walaunpun terkadang kita menghiraukan media atau tidak menganggapnya sesuatu yang membawa dampak bagi kehidupan kita. Namun, pada hakikatnya, ia memberikan sinyal negatif pada pemikiran dan perilaku kita. Kita lebih mudah terhanyut oleh media, dapat dikontrol dengan mudah begitu saja. Lihat saja contohnya, media televisi dan perfileman Indonesia, yang menampilkan dan menonjolkan kekayaan, jarang sekali sudah kita dapati film-film yang mengandung unsur Indonesia yang tentunya dapat membawa sebuah keindahan dan kebaikan dalam moral perilaku kita, sebut saja: Keluarga Cemara atau Si Doel Anak Betawi. Film-film Indonesia sudah banyak dikuasai oleh gaya hidup yang mengandung unsur hedonisme dan unsur-unsur yang membuat nilai luhur bangsa Indonesia menjadi rusak. Banyak adegan yang tidak senonoh yang diselipi dalam film horror, sudah tiada lagi kita temui nyanyian-nyanyian rakyat atau dongeng-dongeng rakyat Indonesia. Banyak yang menampilkan sisi glamour kehidupan selebriti. Dan siapakah korbannya? Korbannya jelaslah kita, kita yang tidak menyaring media dengan benar akan membuat pemikiran kita menjadi mudah untuk terpengaruh. Publik sangat menyukai dalam membicarakan kehidupan selebriti yang diistilahkan sebagai gossip, dan dengan adanya fenomena ini menjadikan kita membicarakan orang lain, membicarakan mereka yang tidak-tidak, bahkan terkadang dari kita menggunjingnya. Kemajuan teknologi dan dunia fashion juga meramaikan media televisi, tidak tanggung-tanggung remaja zaman sekarang banyak dari kehidupan mereka yang berpola hidup yang konsumtif, menghambur-hamburkan uang dan mengikuti mode dengan dalih mengikuti perkembangan zaman dan bila tidak mengikuti zaman mereka akan dikatakan tidak gaul, aneh, dan ketinggalan zaman. Belum sampai disitu, iklan-iklan dan budaya k-pop ataupun boyband/girlband yang sedang berkembang dewasa ini menjadikan kita seperti alat yang dikontrol oleh sebuah media, bukankah kita yang seharusnya mengontrol media? Iklan-iklan mulai membawa banyak pertentangan dan kontroversi, misalnya adalah iklan yang menawarkan kulit cantik adalah kulit yang putih. Sehingga banyak dari mereka yang memburu produk-produk pemutih kulit demi mengejar sebuah kecantikan. Budaya k-pop ataupun boyband/girlband yang merebak di masyarakat, mereka menjadi mudah terpengaruh. Lihat saja, banyak dari artis-artis atau orang yang secara real tidak mempunyai kemampuan dalam vokal namun ikut berperan dalam meramaikan industri musik Indonesia. Belum lagi mereka harus melengkapi dan memperbarui penampilan dan fashion mereka, menjaga perawatan wajah dan tubuh demi mengejar apa yang mereka sebut dengan kebahagiaan. Manusia sekarang telah sampai kepada apa yang digambarkan pemikiran, filsafat, dan seni Eropa yang cenderung menempatkan manusia sebagai makhluk dan entitas yang kesepian secara eksklusif. Bagaimana manusia sampai begitu? Karena dia kenyang dengan hidup, harta, tahta, fashion, dan makanan. Betapa bahagianya dia! Dia di surga; surga kenikmatan dan "kesuburan pohon" yang sebagaimana diungkapkan Lao Tseu, kebanyakan air dan kekenyangan. Siapa lebih kenyang akan merasakan kekosongan, kesendirian, dan keterasingan. [5] 3. Kehilangan Orang Terdekat [caption id="" align="aligncenter" width="235" caption="Image by www.vectorimagesfree.com"][/caption] Orang terdekat adalah orang yang kita sayangi; yang memberikan curahan kasih sayangnya dengan tulus.Mereka akan memberikan dorongan kepada kita, berupa dorongan motivasi, saran yang membangun diri kita agar kehidupan kita jauh lebih baik, dan mengingatkan kita apabila kita salah. Tanpanya, mungkin kita tidak dapat mengontrol kehidupan kita dengan baik. Berada di antara orang-orang terdekat; saudara, teman, dan orang tua memberikan dampak yang positif, jiwa kita tidak akan terbebani dan akan selalu merasa nyaman. Pola hidup, seperti kekerasan, kejahatan, dan hidup yang boros ini ada karena kita kehilangan orang-orang terdekat kita, karena peran orang-orang terdekat inilah yang sangat vital. Kehilangan orang-orang terdekat dapat menyebabkan situasi yang berubah, perhatian kita tidak ada, rasa sayang pun juga tampaknya redup. Hal inilah yang mendasari semakin tingginya tingkat kekerasan, kejahatan, dan kehidupan yang boros. Peran orang-orang terdekat diyakini dapat mengontrol langkah mereka, sehingga bentuk-bentuk dampak negatif tidak akan mungkin pernah terjadi. Di dalam diri seorang hedonis, dia tidak dapat mengontrol keuangan yang baik dan teratur, dan dengan adanya orang-orang terdekat inilah yang diyakini dapat membantu serta mengontrol perekonomian mereka dengan baik. Hanya orang-orang terdekat yang bijak dan baiklah yang dapat membuat sifat hedonisme mereka melebur. Oleh Rezky Abdillah Faisal 18 Januari 2012 Catatan Kaki: 1. The Greatest Philosophers oleh Kumara Ari Yuana, halaman 51-52 2. Why Not? Remaja Doyan Filsafat: Ngomongin Islam, Budaya Pop, dan Gen-X oleh Ekky Al-Malaky, halaman 21-22 3. Why Not? Remaja Doyan Filsafat: Ngomongin Islam, Budaya Pop, dan Gen-X oleh Ekky Al-Malaky, halaman 26 4. Kenalilah Anak Remaja Anda oleh F.b Surbakti, halaman 238 5. Makna Doa oleh Dr. Ali Syariati, halaman 46

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun