Mohon tunggu...
Rezki Syahrir
Rezki Syahrir Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang tidak sempurna, lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, menempuh pendidikan tinggi di kota pelajar Jogja, lalu memutuskan berdomisili di kota berhati nyaman tersebut. Sehari-hari mengaktualisasikan diri sebagai konsultan lepas pada bidang pertambangan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

The Eve

17 Juni 2011   20:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_117148" align="alignleft" width="180" caption="The Eve, diunduh dari google"][/caption] Mikail mengehela nafas panjang. Segera ia berpaling sebelum pintu bandara menghalangi pandangannya. Ia tidak mau keinginan untuk memandang Eve, sang kekasih, terhalangi oleh sebuah benda mati yang tidak berperasaan. Suasana bandara domestik Pristina-ibu kota provinsi Kosovo- yang ramai tidak menghilangkan rasa sepi yang merelung. Ia merasa tidak nyaman. Tampak salju masih bertebaran setelah hujan semalam. Sejuknya pagi ternyata tidak banyak membantu. Selepas mengantarkan Eve sampai ke pintu masuk ia langsung beranjak pulang. Keberangkatan Eve melengkapi rangkaian kisah singkat kebersamaan mereka.

Mikail menghela nafas panjang, kini dilakukan tiga kali. Sebentuk jiwa sedang kelelahan. Hampa. Bayangan hari kemarin mulai mewarnai pikirannya. Mikail sangat tersanjung ketika Eve mengatakan akan mengunjunginya sebelum kembali ke Belgrade. Eve, mahluk yang cerdas, tulus, dan sangat cantik akan bertemu dengannya.

Rencana kedatangan Eve awalnya membuat Mikail sedikit panik. Bagaimana tidak, ia belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tapi selalu ada yang pertama kali dalam hidup. Dan selalu ada yang baru dalam cinta. Ratusan tempat telah ia datangi, kota, desa, bahkan pulau. Ribuan orang telah ia temui, hampir semua lapisan manusia. Bagaimanapun, Mikail selalu lebih suka mendatangi, bercengkrama, dan meninggalkan. Itu membuatnya merasa lebih bebas dan merdeka. Kungkungan jiwa telah terlampaui. Bukan didatangi, bercengkrama, dan ditinggalkan. Apalagi oleh seorang perempuan. Kediktatorannya terusik. Namun ia cepat menguasai diri, sambil berusaha menyembunyikan kegembirannya.

Mikail bangun lebih pagi dari biasanya. Ia tidak ingin terlambat menyambut sang kekasih. Sekilas cerita tentang masa lalu dengan Eve melintas dibenaknya.

Eve adalah teman masa kuliah Mikail. Eve, sosok yang ceria, menonjol di kalangan teman-temannya dan sangat populer. Mikail, mahluk terpendam, dingin dan diam. Berada pada jurusan yang sama ternyata tidak membuat keduanya saling mengenal. Dunia yang berbeda membuat keduanya tidak lebih dari sekedar mengetahui nama masing-masing. Sekedar menggugurkan kewajiban, bukan memenuhi kebutuhan. Walaupun sebenarnya Mikail yakin bahwa Eve mempunyai dunia lain selain apa yang tampak didepan teman-temannya. Semakin Eve berusaha menyembunyikannya, semakin Mikail kuat akan keyakinannya. Dalam seperempat tawa, Mikail menggelengkan kepala. “Dasar Eve, woman in the iron mask”.

Awal kedekatan mereka justru dimulai jauh hari setelah mereka menyelesaikan kuliah. Ketika itu Mikail harus mendatangi kantor tempat Dimitrie–teman masa kuliah Mikail dan Eve–bekerja di Belgrade. Dimitrie mengundangnya, walaupun tidak menduga Mikail akan muncul secepat itu. Kedatangan yang tidak direncanakan. Mikail tahu Dimitrie sekantor dengan Eve, yang sedari tadi tampak gugup. Bukan sebuah kebetulan. Mikail membahas beberapa hal dengan Dimitrie. Dulunya mereka sering bekerja sama. Tidak ada yang istimewa dari kedatangan Mikail waktu itu, selain sebuah kalimat yang terucap waktu mereka duduk bertiga. “Aku mencintaimu dalam diam”. Kalimat yang ditujukan kepada Eve. Mikail harus mengatakannya pada saat mereka sedang bertiga. Mikail tidak yakin dapat mengatakannya jika sedang berdua dengan Eve.

Waktu beranjak, dan Mikail harus mendatangi kantor itu lagi beberapa bulan kemudian. Dimitrie sudah tidak bekerja dikantor itu. Mikail bertemu dengan salah seorang disana. Sekali lagi untuk urusan pekerjaan. Akan tetapi kali ini sedikit lebih istimewa, ada kesan yang tertinggal. Sepotong cokelat menjadi awal untuk berbagi dengan Eve.

Sebuah papan petunjuk bertuliskan “arrival” menyadarkan Mikail dari cerita masa lalu tentang Eve. Terminal kedatangan tidak begitu ramai. Hanya tampak beberapa penjemput yang tidak sabar untuk menyambut. Dan beberapa orang berseragam berjalan masuk ke sebuah tempat melalui pintu bertuliskan “exit”. Tentunya dengan mendermakan sedikit senyum kepada para penjaga. Tampaknya mereka karyawan beberapa stand toko di bandara itu. Mikail menggelengkan kepala.

Salah satu kursi kosong pada sudut yang sempit dipilih Mikail untuk duduk. Ia memilih tempat itu agar dapat menikmati pemandangan khas bandara, menanti kedatangan Eve dengan tenang, dan jika saatnya tiba, menikmati sang Eve berjalan, tanpa harus merasa sedang dinikmati. Ia duduk sendiri dengan pandangan mata yang tajam. Diam.

Eve merasa ada yang menarik tas ranselnya. Ketika berbalik, ia menemukan Mikail sedang tersenyum. Menarik tas ransel yang dipakai Eve merupakan cara Mikail untuk menyapa. Agak sulit tampaknya bagi Mikail untuk menyebut nama sang kekasih. Mungkin karena tidak terbiasa. Atau karena terlalu berat. Sebuah simbol keangkuhan. Mikail tidak perlu menunggu lama sebelum Eve muncul dari pintu keluar bandara. Tidak ada penundaan kedatangan kali ini. Dalam tatapannya, Eve menginginkan sebuah pelukan, dan ia tahu Mikail tidak mungkin memberikannya. Mereka mencoba untuk saling memandang dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Mikail. Niatnya untuk melepas rindu. Walaupun mereka tahu itu hanya akan menambah kerinduan saja. Setelah menempuh beberapa kilometer, mereka berciuman. Suatu hal yang sangat dinantikan.

Hari itu Mikail berusaha menyembunyikan tekanan dan keterpurukan yang sedang menimpanya. Sebuah konsekwensi jalan hidup yang ditempuh. Akan tetapi cinta tulus yang diberikan Eve membuat Mikail harus bercerita banyak tentang apa yang sedang dialaminya. Ia tidak mampu menyembunyikan keadaannya. Ketulusan Eve membuatnya merasa lebih baik dan nyaman. Mereka menghabiskan hari dengan duduk berduaan, saling bercerita, lalu berjalan dibeberapa tempat, dan berbaring bersama. Keesokan paginya, Mikail mengantar Eve ke bandara. Eve akan melanjutkan perjalanan. Belgrade telah menanti.

Mikail menghela nafas panjang, dan perjalanan pulang setelah mengantar Eve menjadi sangat jauh dan menyesakkan. Salju kembali turun menyejukkan tanah Serbia. Dingin.

Quo Vadis the Soul?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun