Mohon tunggu...
Rezki Syahrir
Rezki Syahrir Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang tidak sempurna, lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, menempuh pendidikan tinggi di kota pelajar Jogja, lalu memutuskan berdomisili di kota berhati nyaman tersebut. Sehari-hari mengaktualisasikan diri sebagai konsultan lepas pada bidang pertambangan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tak (Akan Pernah) Terungkapkan (bagian 2, selesai)

13 September 2010   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

[caption id="attachment_256318" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi, diunduh dari google"][/caption] “Seandainya aku seperti mereka, aku tidak perlu bersusah payah seperti ini” gumannya dalam hati melihat sebuah rumah.

Hampir setiap rumah ia masuki dan bertanya adakah pekerjaan buatnya. Tidak seperti yang dibayangkan, ternyata tidak satupun yang mau mempekerjakannya, lalu ia nyaris putus asa. Hingga matahari telah berada sepenggalan, Deejab belum mendapatkan apa-apa. Kemudian ia memutuskan untuk pulang. Keadaan ini terus berlanjut selama beberapa hari hingga orang tua Deejab mengetahui bahwa anaknya telah seminggu tidak masuk sekolah. Suatu petang, di atas sebuah balai bambu usang pemberian paman Herman, ibunya menanyakan perihal ketidakmasukan Deejab ke sekolah selama seminggu ini. Deejab diam tak mau bicara, hanya pandangan mata kekosongan yang ia tampakkan. Ibunya mengerti bahwa Deejab tidak ingin bercerita. Deejab tidak menyangka bahwa berita ini akan sampai juga ke telinga ibunya, padahal ia bermaksud merahasiakan hal ini dari orang-orang termasuk kedua orang tuanya. Hari menjelang sore ketika Deejab memutuskan untuk pulang dari kota. Ini adalah hari kesepuluh ia tidak masuk sekolah. Ia menelusuri jalan besar yang sepi di pinggiran kota. Sebuah jalan menuju desanya. Akan tetapi diperjalanan ia teringat akan sapi milik tetangganya yang belum ia gembalakan. Hal itu membuatnya kaget dan tegang. Keringat dingin mengucur dari kulit yang tinggal membalut tulang itu. Tubuhnya seakan mendapat kekuatan baru untuk menggenjot sepeda ontelnya sekuat tenaga. “Aku harus sampai secepatnya untuk mengembalakan sapi itu, pasti aku akan dimarahi nantinya”, gumannya dalam hati. “Aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini, siapa yang akan menjadi tumpuan keluarga nantinya?, siapa yang akan memberi makan ibu?, siapa yang akan membayar biaya pengobatan bapak, sedangkan aku belum juga mendapatkan pekerjaan tambahan?” dan segelumit kekhawatiran lain terngiang ditelinganya. Deejab meluncur di jalan sepeti kilat. Beberapa kendaraan yang berada di depan didahuluinya. Dipikirannya hanyalah sapi tetangga yang harus segera ia gembalakan, walaupun pasti sudah terlambat. Hingga ada sebuah mobil menghampiri dan memintanya berhenti. Dengan terkejut Deejab memberhentikan sepedanya. Kembali ia harus menduga-duga apa gerangan yang telah dan akan terjadi kepadanya hari ini. Tetapi ia tidak merasa telah melakukan suatu kesalahan pun selain melupakan sapi tetangganya. Turun dari mobil itu seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, bercelana training lengkap dengan baju kaosnya. Ia lalu menyapa Deejab dengan ramah, “Hai nak, siapa namamu?” sapaan yang tidak diawali dengan perkenalan diri terlebih dahulu. “Deejab pak”. Dua, tiga, empat dan lima pertanyaan menyusul kepada Deejab membuat ia semakin bingung. Tanpa tahu nama dan maksud si orang aneh, layaknya orang kampung yang lain yang sedang mencari pekerjaan di kota, Deejab menjawab semua pertanyaan dengan polos. Hingga akhirnya lelaki bermobil itu menjelaskan mengapa ia menghampiri Deejab. Rupanya tadi pada saat Deejab meluncur diatas sepedanya dengan kencang, telah membuat orang itu menjadi terkagum-kagum. Orang itu adalah anggota pencari bakat muda untuk dilatih menjadi atlit balap sepeda. Tawaran untuk menjadi atlit pun langsung keluar dari mulut sang pelatih. Dia menjanjikan hal-hal yang membuat Deejab tidak berkedip dan hanya terpana mendengarkannya. Terdorong oleh keadaan ayahnya yang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan membuat Deejab tidak berfikir panjang untuk menerima tawaran itu. Sang pelatih senang, lalu ia merogoh koceknya dan mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan. “ini untukmu, sebagai tanda terima kasih kamu telah menerima tawaranku”, kata sang pelatih sambil tersenyum. “terima kasih pak” jawab Deejab sambil mengambil uang yang di sodorkan kepadanya tanpa ragu. Ia berjanji akan menemui orang itu besok pagi di alamat yang tertera pada kartu namanya. Kegembiraan yang tidak terkira menggumpal di dada Deejab. Kembali sepedanya dikayuh sekuat tenaga. Hanya bayangan wajah-wajah gembira dihadapannya, kegembiraan ibu yang sejak sepuluh hari terakhir ini tak pernah tampak di wajah keriputya, tawa bangga paman Herman yang selama ini telah menjadi orang tua keduanya, dan senyum haru ayah yang akan kembali sehat serta segera berkumpul dengan mereka lagi di rumah, bukan di Puskesmas desa. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan berita gembira ini kepada dunia. Dunia yang selama ini terus menguji keteguhan hatinya, seorang sayaha Tuhan yang menjadi satu-satunya tumpuan harapan orang tuanya. Sembari bersimpuh di depan ibunya dan menyerahkan uang hasil jerih payahnya sendiri. Matahari mulai tenggelam ketika Deejab melintasi sebuah bukit menuju Desanya. Jalan kecil itu tampak keras. Keringat terasa mulai membasahi seragam sekolah satu-satunya miliknya. “Aku harus segera sampai di rumah sebelum magrib tiba” gumannya dalam hati. Laju sepeda itupun semakin dikencangkannya. Dengan lincah ia melalui kelokan-kelokan kecil setapak itu. Kebiasaan bersepeda sejak dua tahun lalu ternyata memberinya kemampuan yang cukup handal. Dengan yakin ia menambah laju sepedanya untuk dapat melalui tanjakan didepan. Namun tiba-tiba angin berhembus kencang dan debu-debu kering jalanan yang beterbangan. Hembusan debu itu mengenai mata Deejab. Tangan kanan yang semula memegang rem diusapkan ke mata. Akan tetapi tindakan itu justru membuat sepedanya oleng. Perih di bagian mata akhirnya membuatnya kehilangan kendali, dan menabrak sebuah batu lalu masuk kedalam sebuah jurang dangkal. Kepalanya yang terbentur batu gunung tajam memberinya rasa sakit yang teramat sangat. Darah segar mengucur deras dari kepalanya. Tubuhnya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Seekor semut yang menggigit bibirnya pun terpaksa ia relakan. Rintihan suara meringis kesakitan hanya didengarkan oleh capung-capung yang beterbangan, tetapi mereka tidak mempedulikannya. Isak tangisnya hanya mampu didengarkan oleh lalat-lalat yang mulai menjamah lukanya, tetapi mereka terus menikmatinya. Tidak ada orang lain yang berada ditempat itu. Sebuah jurang sunyi tak bertuan. Hanya tampak anak yang terus mencoba untuk bertahan dengan luka di kepalnya. Sedikit demi sedikit Deejab berusaha untuk bangkit dan merangkak menapaki jurang itu untuk meraih sepedanya. Namun sisa tenaga yang ia miliki hanya mampu untuk membuatnya meringis dan menangis, tapi tidak untuk bangkit dan merangkak. Lalu ia semakin lemah dan terkulai. Semangat untuk memberikan berita gembira itu ternyata tidak mampu untuk mengangkatnya dari jurang, sampai ia pun tidak sadarkan diri. Akhirnya sesosok malaikat datang menghampirinya. Cahaya mentari semakin memerah, pertanda magrib akan segera datang. Suara-suara jangkrik mulai terdengar, tidak lama kemudian azan magrib berkumandang. Orang-orang bersiap untuk menunaikan shalat magrib bersama di masjid kampung, satu-satunya kebiasaan mereka yang belum berubah seiring dengan masa-masa sulit yang terus melanda. Secara bergantian mereka saling menasehati untuk tetap bersabar menghadapi cobaan ini, sembari melakukan doa bersama agar Tuhan memberi kesabaran dan kekuatan. Sehabis magrib mereka melakukan pengajian rutin yang dipimpin oleh Ustad Bahar, tetua kampung yang sangat dihormati. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan kembali memikirkan hari esok mereka yang semakin tidak menentu, apakah mampu mengisi perut atau tidak, apakah mampu membasahi tenggorokan anak-anak mereka atau tidak. Semuanya serba tidak pasti. Kecuali anak-anak kecil yang telah tertidur pulas kehabisan air mata setelah seharian menangis. Air mata yang hanya menjadi senjata kelaparan mereka. Serta sebagian bayi yang masih berharap air susu ibunya kembali bisa membuat mereka tersenyum, setelah sekian lama mereka hanya merasakan puting pahit dan kering tanpa setetes susu pun yang membasahi. Keesokan harinya orang-orang desa berkabung. Pada hari itu mereka mengebumikan dua orang. Kuburan Deejab bersama ayahnya didampingkan. Jiwa-jiwa yang tenang damai tanpa perlu merasakan kelaparan lagi. Jiwa-jiwa yang telah menunaikan tugasnya di dunia ini dengan tidak kenal mengeluh dan putus asa. Jiwa-jiwa yang meninggalkan seorang perempuan setengah baya dengan duka yang mendalam. Kemana Deejab pergi selama sepuluh hari terakhir menjadi rahasia tak terungkap dihadapan ibunya, dan beberapa lembar uang lima puluh ribuan diletakkan di samping batu nisan bertuliskan Deejab... Dan hujan pun turun..... Pojok concat, Dalam untaian keheningan jiwa, Dan lembutnya nada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun