Mohon tunggu...
Rezki Syahrir
Rezki Syahrir Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang tidak sempurna, lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, menempuh pendidikan tinggi di kota pelajar Jogja, lalu memutuskan berdomisili di kota berhati nyaman tersebut. Sehari-hari mengaktualisasikan diri sebagai konsultan lepas pada bidang pertambangan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tak (Akan Pernah) Terungkapkan (bagian 1)

13 September 2010   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

[caption id="attachment_256314" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi, diunduh dari google"][/caption] Terik mentari menjadi penonton setia siang itu. Angin sepoi-sepoi berhembus diantara dedaunan kelapa yang kering. Ayam jantan kurus mengais-ngais tanah untuk melangsungkan hidupnya yang seolah tidak diperhatikan lagi oleh pemiliknya, sambil sesekali mematuk ke tanah jika mendapat rejeki yang semakin langka baginya. Langit cerah memberi sebuah senyum kecut pada dunia, disambut teriakan oleh lahan persawahan yang kering. Dikayuhnya sepeda ontel yang nyaris menjadi barang antik itu sekuat tenaga. Sehabis sekolah, sapi piaraan tatangganya menunggu untuk digembalakan. Pekerjaan itu sudah hampir setahun ia lakoni. Semenjak kemarau panjang melanda desanya tahun lalu, sawah-sawah menjadi kering membuat sapi kehilangan pekerjaannya. Anak itu menggembalakan sapi tetangganya untuk menambah penghasilan keluarganya yang sudah tidak memiliki sumber tetap. Deejab nama anak itu, nama yang singkat diberikan oleh Abdullah ayahnya, seorang petani yang menginginkan Deejab untuk mewarisi pekerjaannya. Seperti hari-hari sebelumnya sehabis Subuh, Deejab harus segera mempersiapkan diri. Sebelum jam setengah enam dia sudah harus berangkat ke sekolah, tempat ia menuntut ilmu bekal hidup kelak dimasa yang akan datang dan penuh dengan tanda tanya. “Assalamualaikum, Deejab berangkat dulu ya Bu”. “Waalaikumsalam, hati-hati ya nak”! demikian jawab Ponirah, seorang perempuan setengah baya dari balik tirai bambu usang rumahnya. Pintu segera bergerak menutup seiring dengan kepergian Deejab ke sekolah. Hari-hari pun terlewati seperti sebelumnya. Tidak ada yang aneh pada hari itu, kecuali ketika pukul dua siang saat Deejab pulang dari sekolah dan hendak menggembalakan sapi di padang rumput tandus di sebelah bukit. Sesampainya di depan rumah, ibunya menyambut kedatangan Deejab dengan tangis. Tampak wajah perempuan itu pucat pasi dan sangat terpukul, seolah sesuatu telah menampar jiwa sucinya. Rasa khawatir dan penasaran menyelimuti batin Deejab seketika, seiring isak tangis Ponirah yang tak kunjung reda. Seribu tanya berkecamuk di dalam hatinya antri menunggu giliran untuk dilontarkan. Anak semata wayang yang masih duduk di bangku kelas tiga SLTP ini pun kemudian bertanya kepada ibunya, “apa gerangan yang telah terjadi bu?” kembali tangisan menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Sampai tiga kali ia mendesak ibunya dan akhirnya perempuan itupun menjawabnya. “Ayahmu… ayahmu terjatuh dari pohon kelapa milik pak Kades tadi siang. Sekarang ia lagi berada di Puskesmas ditemani oleh paman Herman”. Jawaban itu sangat tidak diharapkan oleh Deejab. Wajahnya menjadi pucat dan telapak tangannya mengeluarkan keringat. Namun, ia mencoba untuk tegar sambil berusaha melontarkan pertanyaan kedua yang sedari tadi menanti. “Memang kenapa ayah memanjat pohon kelapa milik pak Kades bu?” sebuah kenyataan yang sangat mengherankan bagi Deejab mengingat pak Kades terkenal orang yang sangat pelit di desanya. Pertanyaan itu meluncur dari mulut Deejab dengan cepatnya. “Pak Kades berniat memberi ayahmu upah jika ia mampu untuk memetik semua buah kelapa di halaman rumahnya”. Isak tangis Ponorah agak mereda lalu berganti dengan pandangan kosong kearah ujung sawah tak berpadi dikaki bukit. Beberapa menit kemudian dia mencoba untuk melontarkan sepatah kata dari bibir kusutnya. Ternyata kebiasaan makan Sirih hanya membuat bibirnya semakin tidak keruan, kecuali gigi-gigi putih yang terpampang di ujung lidah tampak kuat, membuat terkadang ia sombong dihadapan perempuan-perempuan seusianya dikampung itu. “Kamu kan tahu sendiri kalau keluarga kita sudah sangat kekurangan uang nak”. Jawaban Ponirah memberi pelengkap dari apa yang telah Deejab rasakan selama ini. Kemarau panjang telah memporak-porandakan kampung milik mereka yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Orang-orang menjadi kehilangan mata pencaharian dan dipaksa untuk beralih kerja yang lain. Mereka tidak mungkin terus bertahan dengan kondisi seperti ini. Tuntutan hidup yang terus bertambah membuat mereka semakin terdesak dan rela untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuap nasi dan sekeping receh, termasuk menjilat ludah dari apa yang telah lontarkan sendiri ataupun kesepakatan jiwa-jiwa yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Tidak ada kepastian sampai kapan mereka akan terus begini. Hamparan padang hijau dan sawah menguning menjadi fatamorgana yang sangat menyakitkan. Beberapa bulan lalu sempat terdengar isu bahwa desa mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk membuat pengairan dari desa seberang untuk mengatasi permasalahan kemarau panjang ini. Desa tetangga mereka memang terkenal memiliki pengairan yang sangat bagus, diambil dari bendungan sebuah sungai besar yang terletak enam kilometer dari desa itu, sehingga walaupun kemarau panjang berlangsung penduduk tetap dapat menjalani kehidupan mereka sebagaimana biasanya. Kedua desa itu hanya dipisah oleh sebuah bukit dan sebuah sungai tak berair namun keadaannya sangat bertolak belakang. Deejab memang sempat beberapa kali menanyakan bantuan itu kepada paman Herman yang bekerja di Kantor Desa, namun ia mengaku tidak tahu-menahu dengan hal itu. “Itu adalah urusan pribadi pak Kades, dan kami tidak ada seorangpun yang mengetahuinya”, jawab paman Herman suatu sore ketika Deejab kembali menanyakan hal tersebut kepadanya. Akhirnya pertanyaan kali itu menjadi yang terakhir dari mulut Deejab tentang dana bantuan desa dan ia hanya bisa penasaran sembari sesekali curiga kepada pak Kades yang semakin hari tanpak semakin makmur itu. Rumahnya paling bagus diantara semua rumah yang ada di kampung membuat penduduk semakin sungkan. Halaman luas di depan rumah membuat ia harus mempekerjakan orang untuk merawat. Anak-anaknya pun semuanya bersekolah di kota, kecuali seorang yang sulung yang tampak mengalami gangguan jiwa. Sebuah kutukan yang dialamatkan kepadanya, kata orang pintar di desa seberang. Anak itulah satu-satunya yang sering membuatnya malu jika ada orang yang bertandang ke rumahnya. Juga menjadi bahan ejekan anak-anak lain di kampung itu yang tidak senang kepada pak Kades, bukan kepada anaknya. Tak ayal, mendengar berita itu Deejab langsung menuju Puskesmas untuk menjenguk ayahnya. Sesampainya disana ia mendapatkan ayahnya sedang terbaring lemah di bangsal besi karatan milik Puskesmas. Sebuah tamparan keras diterima Deejab ketika ia mengetahuai kalau ayahnya harus segera dirawat serius dan membutuhkan biaya yang mahal. Padahal keluarga mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Semuanya sudah habis dijual termasuk sepetak sawah warisan kakek untuk menutup biaya hidup keluarga dan ongkos sekolah anak kesayangan mereka. Sekembalinya dari puskesmas, Deejab terus merenung dan berfikir untuk mendapatkan uang. Ia tahu bahwa gaji mengembala sapi tidak mungkin cukup untuk ongkos perawatan ayahnya, dan ia pun tahu tidak mungkin berharap kepada ibunya untuk menanggung biaya itu. Langit mulai gelap dan bulan pun menampakkan wajahnya. Remang-remang pelita mengiringi kegelisahan Deejab. Suara Jangkrik yang tidak merdu tidak mampu memberikan jalan keluar bagimana mendapatkan uang. Keesokan paginya, tidak seperti biasa, Deejab berangkat lebih awal, bahkan tanpa berpamitan. Digenjotnya sepedanya dengan cepat. Sosok tinggi kurus itu meluncur di jalan setapak desa yang keras dan kering, diantarkan oleh suara kokok ayam jantan, dan disaksikan fajar yang mulai menyingsing. Sampai di pertigaan desa ia memutuskan untuk berbelok ke kiri mengambil jalan menuju arah kota. Iya, Deejab ingin pergi ke kota untuk mencari uang. Sebuah tindakan yang baru terpikirkan tadi di jalan. Ternyata pertigaan desa memberinya inspirasi untuk tidak ke sekolah hari ini. Hari menjelang siang, sekitar pukul sembilan pagi ketika ia sampai di kota. Ia menelusuri jalan yang disamping kiri kanannya terdapat rumah-rumah yang besar dan mewah, rumah-rumah orang kaya.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun