Mohon tunggu...
Rezki Syahrir
Rezki Syahrir Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang tidak sempurna, lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, menempuh pendidikan tinggi di kota pelajar Jogja, lalu memutuskan berdomisili di kota berhati nyaman tersebut. Sehari-hari mengaktualisasikan diri sebagai konsultan lepas pada bidang pertambangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelayanan Publik dan Pengalaman Masa Kecil

8 November 2009   17:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Foto di samping saya ambil di salah satu terminal keberangkatan domestic bandara Soekarno-Hatta Jakarta beberapa waktu yang lalu. Di foto ini tempak sebuah layanan jasa pengemasan bagasi bagi pada penumpang untuk memastikan barang-barang bawaannya aman selama berada di bagasi pesawat. Atau dengan kata lain bagi mereka yang khawatir akan keamanan barang bawaannya. Harga perkoli untuk pengemasan kalau tidak salah berkisar antara 30-40 ribu rupiah. Jasa pengemasan ini sudah berlangsung beberapa lama, mungkin sudah beberapa bulan, mungkin sudah setahun, tapi tepatnya belum dua tahun. Sebuah bisnis baru yang menggiurkan. Dilihat dari sudut pandang bisnis, layanan jasa pengemasan ini merupakan bisnis yang menarik, karena semakin hari jumlah penumpang pesawat terbang semakin meningkat, ini artinya peluang pasarnya semakin hari semakin besar. Namun, bagaimanakah bisnis ini jika dilihat dari sudut pandang pelayanan public? Mari kita lihat. Seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, bahwa bisnis ini dimulai beberapa bulan yang lalu. Bisnis ini muncul dan berkembang terutama saat ramainya pecurian barang-barang berang berharga di bagasi, terutama di bandara-bandara besar termasuk Soetta. Pada saat itu ramai diberitakan orang-orang yang mengadu akibat kehilangan barang di bagasi. Halaman surat pembaca di media cetak pun tidak luput dari sasaran media pengaduan, mungkin karena melapor ke pihak yang berwenang diaggap tidak akan mendapat respon yang baik. Seiring dengan itu, pihak kepolisian juga dilaporkan menangkap pelaku spesialis pencurian barang bagasi dan jaringannya. Mereka (sudah bisa ditebak) adalah “orang dalam” yang bertugas mengangkat dan memindahkan bagasi penumpang ke pesawat dengan baik dan benar. Intinya, pelaku adalah orang-orang yang bertugas melayani bagasi para penumpang. Akan tetapi pencurian barang-barang bagasi tetap saja terjadi. Seorang teman mengaku pernah kehilangan GPS di bagasi, dan saya sendiri pun pernah kehilangan sejumlah uang hanya karena saya lupa mengeluarkan dompet dari tas yang akan masuk bagasi. Rupanya maraknya penumpang yang kehilangan barang ini dimanfaatkan oleh mereka yang berjiwa bisnis untuk menawarkan jasa pengemasan. Tidak tanggung-tanggung, seluruh bagian barang bawaan dikemas dengan gulungan plastic berlapis-lapis untuk menghindari pembobolan. Perasaan sedih kemudian muncul. Betapa tidak, hak penumpang untuk mendapatkan pelayanan yang baik di bandara hilang begitu saja akibat keamanan bagasi yang tidak terjamin. Tidak sampai di situ saja, hak itupun kemudian dibajak oleh orang-orang tertentu untuk menawarkan jasa pengemasan bagasi. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah tidak mendapatkan pelayanan yang baik yang semestinya sudah menjadi hak, disuruh bayar pula untuk mendapatkannya. Kritik saya kemudian tertuju kepada pengelola bandara (PT Angkasa Pura). Ketidakmampuan mereka dalam menjaga keamaanan bagasi penumpang bukannya diatasi dengan memperbaiki system keamanan atau tindakan solutif lainnya, malahan memberi kesempatan kepada orang lain untuk menawarkan jasa keamanan bagasi. Tidak adanya niat baik untuk memperbaiki pelayanan bandara, diperparah dengan menarik ongkos sewa lahan dari pemilik usaha pengemasan. Itupun kalau sang pemilik usaha bukan orang PT. Angkasa Pura itu sendiri atau koleganya. Tampaknya naiknya harga pajak bandara yang selama ini dijanjikan untuk peningkatan pelayanan, ternyata hanya janji belaka. Tidak ada peningkatan yang berarti, selain jumlah toilet yang bertambah. Di penghujung tulisan, saya ingin bercerita tentang pengalaman masa kecil. Saya teringat sebuah kisah dengan seorang teman saya. Awalnya dia seorang yang gemar mencuri sandal di masjid. Senang sekali dia tampaknya dengan kebiasaannya itu. Setelah berulang kali mendapat teguran dari saya, dengan sedikit menyinggung-nyinggung dosa dan Tuhan, dia kemudian beralih kebiasaan. Menjadi penjaga tempat penitipan sandal pun dilakoninya. Pekerjaannya memastikan sandal-sandal para jamaah aman dan tidak tertukar. Sebua pekerjaan yang jauh lebih mulia tentunya daripada mencuri sandal. Semakin lama tampak semakin banyak saja orang yang menitipkan sandalnya. Senang sekali dia tampaknya dengan pekerjaan barunya ini. Lebih senang dari sebelumnya. Sampai suatu saat saya pun bertanya apa rahasia kemajuan “usahanya” ini. Dia pun menjawab dengan bangganya, “kalau aku liat orang yang sandalnya bagus dan tidak dititipkan ke sini, maka sandalnya akan aku curi. Pasti besoknya dia akan menitipkan sandalnya di sini”. Oh my god. Salam, Nb. ini adalah postingan pertama saya di kompasiana, setelah beberapa bulan hanya menjadi pembaca setia. jadi, harap maklum dengan semua keterbatasannya. salam sekali lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun