Mohon tunggu...
Re
Re Mohon Tunggu... Desainer - Seeker

Aku tidak berteman dengan huruf, tidak juga dekat dengan kalimat, namun banyaknya peristiwa membuat lidahku ingin bergerak dan berteriak. Latar belakang yang selalu bersembunyi di balik ruang kamarku yang kecil juga membuat bibirku sulit untuk bekerja sama dengan lidah dan pita suara. Karena itu lah tangan mulai bergerak dan bekerja sama dengan mesin berbalut besi dan juga gelombang yang tak terlihat untuk mencoba membuat pemikiran menjadi suatu ucapan di tempat yang tak seorang pun mengenal siapa aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pangeran Hitam Putih

29 Desember 2018   12:44 Diperbarui: 29 Desember 2018   12:49 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah pangeran yang hidup di sebuah kerajaan yang rusak dan selalu mengenakan topeng tanpa melepasnya sedetikpun. Topeng adalah hal yang lumrah bagiku. Semenjak berumur 6 tahun aku sudah belajar bagaimana caranya menggunakan topeng dengan baik, entah sudah berapa banyak koleksi topeng yang ku punya hingga saat ini. Semakin bertambahnya digit usiaku, semakin susah pula aku melepaskan topeng-topeng kesayangku. 

Aku hidup di sebuah papa catur yang hanya memiliki warna hitam dan putih. Aku tak bisa melangkah semauku, karena sedikit kesalahan saja dapat menjadi  pemicu peperang yang tak pernah usai. Dunia seperti itulah tempatku hidup dan dibesarkan. Hanya hitam dan putih, percakapan monoton, dan peperangan antara raja dan ratunya, dan terus berulang. Namun suatu hari, kehidupanku sekejap berubah 180 derajat, sejak aku bertemu dengannya.

Dia datang ke dalam hidupku secara tiba-tiba, wanita yang tak mengenal warna hitam maupun putih. Didasari ketidaktahuan dan tanpa rasa bersalah, ia terus memberikan warna-warna asing kedalam hidupku. Aku tak pernah mengenal jingga, begitu juga biru, oranye dan kawan-kawannya yang lain. Aku terhentak kaget saat pertama kali warna-warna asing itu masuk ke dalam hidupku, warna yang di bawa olehnya, satu-satunya wanita yang aku cintai. 

Seiring aku mengenalnya, corak hitam putih papan catur ini mulai terisi oleh warna lain, hingga akhirnya semua warna terpadu harmonis saling mengisi kekurangan satu dan yang lain, itu adalah satu-satunya kebahagiaan yang pernah aku dapatkan. Bersamanya, roda waktuku yang terhenti saat aku berumur 6 tahun perlahan mulai bergerak. Kaki ini mulai berjalan lagi setelah sekian lama absen dari tugasnya. Semua koleksi topeng yang aku simpan hingga kini sekejap hancur berantakan. Bagiku saat itu, dia adalah masa lalu, masa kini, dan masa depanku, setidaknya itu yang ingin aku percayai. 

Selama 850 hari yang aku lewati bersamanya penuh dengan warna yang berbeda-beda. Terkadang kuning, kadang juga biru, kadang memerah, bahkan kelabu. Bagiku semua  itu adalah saat yang membahagiakan, dan aku pikir semuanya tidak akan berakhir, sampai suatu hari raja dan ratu kembali memberikan ultimatum, memerintahkan pasukan bernama "Trauma" untuk kembali merebut pangeran dari sang putri.  

Warna lama itu kembali lagi dan mencuci otak hingga seluruh bagian sel-sel dalam tubuhku agar percaya bahwa kebahagiaan itu hanyalah bentuk lain dari kebohongan, dan dia berhasil. Aku termakan oleh bujuk rayunya. Aku melepas semua warna indah itu dari papan ini, dari duniaku. Aku menyakiti wanita itu dan meninggalkannya.

Wanita itu bertahan, dia menungguku dan berjuang sendirian. Aku mengacuhkan perjuangannya. Tanpa mengerti betapa perih goresan pisau yang aku berika kepadanya, aku berjalan menarik diriku kembali dari para makhluk bebas di luar sana, dan kembali ke dunia moton ini sekali lagi. Selang waktu berlalu, angin memberitahuku bahwa wanita itu kini telah menemukan sosok yang dapat membahagiakannya. 

Pasangan yang memiliki warna dan kecerahan yang sepadan dengannya. Aku berterimakasih kepada angin atas kabar baik yang ia sampaikan, dan bersyukur karena wanita itu telah menemukan kebahagiaannya. Kini ia tak perlu lagi merasakan kepedihan seperti yang kuberikan padanya. 

Aku selalu berharap bahwa tak akan ada lagi orang yang menyakitinya, dan cukup aku saja yang menjadi warna hitan dan putih di dalam hidupnya. Aku memohon kepada tuhan agar menghapus ingatannya tentangku, pangeran hitam putih nya yang tak pernah bisa terlepas dari belenggu kerajaan sampai akhir hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun