Mohon tunggu...
Re
Re Mohon Tunggu... Desainer - Seeker

Aku tidak berteman dengan huruf, tidak juga dekat dengan kalimat, namun banyaknya peristiwa membuat lidahku ingin bergerak dan berteriak. Latar belakang yang selalu bersembunyi di balik ruang kamarku yang kecil juga membuat bibirku sulit untuk bekerja sama dengan lidah dan pita suara. Karena itu lah tangan mulai bergerak dan bekerja sama dengan mesin berbalut besi dan juga gelombang yang tak terlihat untuk mencoba membuat pemikiran menjadi suatu ucapan di tempat yang tak seorang pun mengenal siapa aku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seribu Surat untuk Sang Bulan

21 November 2017   15:52 Diperbarui: 21 November 2017   16:05 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

18 tahun yang lalu aku memutuskan diriku untuk tenggelam di dasar kegelapan. Bagiku mereka adalah suatu bentuk nyata dari kebohongan-kebohongan yang di tunjukan oleh cahaya. Kegelapan selalu bertamu kedalam pemikiranku bersama imajinasi. Suatu hari imajinasi pun akhirnya mengenalkan ku pada "kematian". Heran nya adalah aku tidak pernah merasa takut dan membencinya, bahkan aku adalah salah satu orang yang sangat mengagumi kematian. Namun kini semuanya berubah. Aku mulai merasa ketakutan, dan itu semua berawal dari dua tahun yang lalu saat aku mulai mengenal "Bulan".

Saat itu adalah kali pertama bulan menghampiri malamku yang selalu berisikan kegelapan dan kematian. Kala itu aku tidak pernah menghiraukan nya. Saat bulan datang aku selalu memejamkan mata dan berusaha mencari kegelapan. Namun entah sejak kapan indera pengelihatanku mulai memprotes dan terbiasa dengan cahaya bulan. 

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menerima bulan ke dalam kehidupanku. sejak saat itu malam ku selalu ditemani oleh cahaya bulan. terkadang ia pun mengajak bintang-bintang untuk menemani malamku. Bulan tidak pernah mengeluh saat menyirami malam ku yang sangat gelap. Aku pun tahu seberapa kerasnya ia menjaga malamku agar tetap bersinar, agar kegelapan dan kematian tidak pernah datang dan menemaniku lagi, Begitulah pikirku. Namun tanpa aku sadari ternyata kematian dan kegelapan selalu mencoba menyingkirkannya. Aku tak pernah menyadari dan menghargainya, tidak pernah hingga bulan pun hancur dan meninggalkan aku.

Sudah 365 hari sejak bulan pergi berhenti menyinari malamku. 185 hari aku habiskan dengan bercengkrama bersama kegelapan dan kematian. hingga akhirnya aku sadari betapa hebatnya mereka berdua mempermainkanku. Saat aku tersadar, aku mencoba untuk menghampiri bulan, aku tahu dia akan menerimaku kembali, setidaknya begitulah pikirku. Sayangnya itu semua sekali lagi hanyalah permainan yang dilakukan oleh imajinasi semata. Bulan kini telah menemukan hal yang lebih pantas untuk dia terangi dengan cahayanya. 

Bulan kini telah menjadi lebih kokoh, dan retakanyang ku sebabkan pun telah hilang sepenuhnya. Saat aku melihat itu dari sudut bayang-bayang kegelapan, aku akhirnya memilih untuk mundur. Ya, aku tidak ingin memaksanya kembali dan membiarkannya hancur lagi di kemudian hari. Lagi pula kini aku sudah tidak bisa meninggalkan kematian. Namun aku juga tidak akan membiarkan diriku untuk tenggelam di dalam kegelapan. Jadi, jika saat nya tiba, aku hanya berharap aku dapat menghampiri bulan sekali lagi untuk melihat keindahannya. Karena aku ingin di hari terakhirku aku dapat memberikan seribu surat yang ku tulis untuk sang bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun