Dari hidup telah memilih menurunkan aku ke bumi
Hari berganti dan berganti aku diam tak memahami
Mengapa hidup begitu sakit, apakah hidup seperti ini?
Mengapa ku slalu sendiri, apakah hidupku tak berarti?
Coba bertanya pada manusia tak ada jawabnya
Aku bertanya pada langit tua, langit tak mendengar…
Bait-bait lagu Peterpan, berulang kali diputar Ina’, di hp kesayangannya. Dirinya tampak lusuh, tidak karuan, menatap dengan tatapan kosong namun tajam. Duduk membungkuk di atas kursi dengan kedua siku diletakkan di atas paha, kedua tangan memegang hp yang disambungkannya headset.
19.03 Wita--Hujan deras dan kota Makassar, bukan pertanyaan lagi. Cuaca yang tidak menentu sejak beberapa bulan lalu membuat banyak orang terkecoh. Ada tiga opsi bagi pengendara sepeda motor yang tidak membawa jas hujan; tetap melaju dengan berbagai risiko, singgah membeli jasi hujan, atau terpaku di bawah tempat berteduh sambil menunggu hujan reda. Dan Ina’ memilih opsi ke dua.
Di sebuah toko buku, ia pun terus menikmati lagu tersebut tanpa sadar sudah hampir setengah jam dirinya menunggu hujan reda. Lagu tersebut seakan mewakili perasaannya sekarang. Ina’ yang belum lama memasuki sebuah perguruan tinggi di Makassar harus menerima kenyataan pahit. Ayahnya dipecat dari pekerjaannya sekitar sebulan yang lalu.
***
“Untuk sementara kita’ naik motor saja, Nak,” ujar Dzul, ayah Ina’ perlahan memberi penjelasan kepadanya.
“Dimana memangkah kita’ simpan mobil pak?” tanya Ina’ penuh curiga. Dia sudah tahu kalau ayahnya menjual mobil mereka.
“Ada temanku suka’i ntu mobil nak, jadi kujualmi saja sama dia. Lumayan juga bisa Bapak pakai untuk bisnis makelar mobil.”
Meskipun didera frustasi hebat namun Dzul selalu memperlihatkan wajah yang penuh harapan di depan anaknya itu.
Awalnya sebuah mobil, kemudian rumah yang tidak mereka tempati terpaksa dijual sang ayah mengingat kebutuhan mereka. Bisnis yang dijalani Dzul pun bisa dibilang tidak berhasil. Maklum, Dzul merupakan tipe pegawai, bukan pengusaha. Setiap membuka usaha, tidak ada yang berhasil. Tetapi berkali-kali ia nekat namun hasilnya tetap sama.
Sebulan kemudian, kemungkinan terburuk yang pernah dibayangkan Ina’ pun nyaris menjadi nyata.
“Ia, Nak. Nabilang Bapakmu, ini rumah memang pantasmi dijual, tuami semua kayunya,” dengan penuh kesabaran, Aminah ibu Ina’, memberikan penjelasan yang ditolak mentah-mentah oleh anaknya itu.
“Dimana meki’ nanti tinggal? Kubilang memang Bapak tidak usah buka bisnis, mending dipakai saja itu uang untuk makanta’ ”. Ina’ pun terisak tangis disambut pelukan sang ibu. Mereka berdua larut dalam kesedihan yang mereka sendiri tak tahu kapan akan berakhir.
Sudah dua bulan keluarga Ina’ mengalami kesulitan keuangan. Awalnya Ina’ masih bisa kompromi, namun ketika mengetahui rumah tempat tinggal mereka yang seusia Ina’ akan dijual, Ina’ pun dilanda stres siang malam.
Persoalannya, rumah itu merupakan saksi bisu kehidupan keluarga ini. Sejak lahir, Ina’ sudah tinggal di sini. Semua kenangan ada di sini. “Lantas akan terasa aneh jika rumah ini kemudian ditinggalkan,” pikir Ina’ dalam hati.
Dzul yang juga harus segera mengambil keputusan tidak lagi menerima masukan dari anak dan istrinya. Menurutnya inilah jalan yang terbaik untuk ditempuh.
Ina’ dan keluarga pun berpindah kediaman di sebuah rumah kontrakan, agak jauh jaraknya dari rumah mereka yang dulu. Meskipun dengan setengah hati, namun Ina’ tak kuasa untuk berontak, apalagi ayahnya merupakan sosok yang keras dan mudah emosi. Jadilah Ina’ hanya memendam perasaannya dan sesekali berkeluh kesah di hadapan sang Ibu.
***
“Ina’, kenapa baruki’ kelihatan? Dari manaki’?” tanya Mawar sahabat karib Ina’.
“Oo..tidakji, malas ja’ masuk”. Ina’ berusaha menyembunyikan masalahnya.
Ternyata masalah yang dihadapinya mempengaruhi aktivitas kuliahnya selama ini. Selama dua minggu terakhir, dirinya tidak pernah masuk kuliah. Sedangkan sepengetahuan ayah dan ibunya, hampir setiap hari, Ina’ berangkat ke kampus. Entah ke mana angin membawanya.
Ina’ pun urung menceritakan hal ini kepada teman-temannya. Dia sangat tertutup untuk hal-hal yang menyangkut keluarganya. Alhasil, teman-temannya pun dibuat heran oleh tingkah lakunya yang terbilang aneh ini.
***
19.55 Wita—Di toko buku.
Kenapa kodong nabegini sekali nasibku? Baruka semester dua, ada lagi cobaan yang menimpa keluargaku. Kasihanka sebenarnya lihatki Bapak sama Mama’ku, tapi lebih kasihanka lagi sama diriku’. Pertama, masih mudaka, masih panjang perjalananku, kedua, bagaimanami masa depannya ini kuliahku? Bisajikah nanti Bapak bayarki SPP ku’? Ketiga, ada tommi kuliahku yang tidak beres, tambah malasma’ juga.
Perasaan Ina’ terus bergejolak, berusaha mengakumulasikan setiap kenyataan pahit yang dihadapinya selama ini. Menyalahkan keadaan dan sulit menerima ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Hujan perlahan-lahan reda, namun Ina’ dikagetkan suara tv pemilik toko. Separuh badannya berbalik menengok tv berukuran 14 inci itu. Ternyata acara dakwah, Ina’ kembali meluruskan posisi duduknya sembari menghembuskan nafas panjang.
“Jangan takut untuk kehilangan, karena sejatinya segalanya memang bukan milik kita melainkan titipan Allah SWT yang setiap saat bisa diambil-Nya kembali. Yang perlu adalah menjaga titipan-Nya agar Allah percaya kepada kita dan tidak buru-buru mengambilnya dari kita,” suara seorang da’i yang mengutip kata-kata Aa Gym menggetarkan hati Ina’.
Dia kemudian berbalik lagi dan mengikuti ceramah itu. Ucapan dari da’I tersebut ternyata sedikit mengetuk hati nuraninya. Dengan cermat dia mendengarkan, namun sayang penjaga toko mengganti saluran tv. Ina’ hanya bisa pasrah.
Tidak berapa lama, saluran tv berganti, kali ini sebuah berita. Ternyata datang dari sebuah daerah di Kabupaten Sidrap, masih di daerah Sulawesi Selatan. Angin puting beliung menghancurkan puluhan rumah warga, Jumat 24 Februari 2012, dan saat ini masih dilakukan evakuasi.
Beberapa rumah rusak parah bahkan rata dengan tanah, banyak korban luka-luka dan beberapa di antaranya meninggal dunia.
Ina’ terpaku. Bukan karena bencana alam yang terbilang lumayan berat itu. Namun lokasinya yang tidak begitu jauh membuatnya takut. Bagaimana kalau saya kena juga?
Mengerikan apa yang dialami para korban bencana tersebut. Lebih mengerikan dari masalah yang dihadapi Ina’ dan keluarganya. Bukan hanya rumah beserta isinya yang hilang, namun nyawa pun bisa lenyap.
Ina’ tampak kasihan menyaksikan berita yang masih meliput lokasi kejadian. Dalam hati berucap, ternyata masih banyak orang yang lebih menderita dariku. Ternyata apa yang dia alami selama ini tidak ada apa-apanya dibandingkan tayangan itu. Sakit bathin ditambah menderita fisik.
20.27 Wita—Ina’ beranjak dari tempat duduknya, ternyata hujan sudah reda sekitar setengah jam yang lalu. Hp nya dimasukkan ke dalam tas ransel, tak lupa mematikan musik. Dia pun memakai helm dan menyapu-nyapu sadel motor matic-nya yang kehujanan.
Dari arah Jalan Urip Sumoharjo menuju Kabupaten Maros, tempat tinggalnya kini, Ina’ mengendarai motor dengan hati-hati, tidak seperti biasanya. Hatinya masih berkecamuk membandingkan cobaan yang dihadapinya dengan cobaan orang-orang di sekitarnya.
Lampu merah di flyover, tiga bocah mengerumuninya sambil menyanyikan lagu Ayu Ting Ting.
“Pulangmi, Dek!” seru Ina’ berusaha mengusir anak-anak jalanan tadi. Namun mereka tidak mengindahkan perintah Ina’. “Dimana orang tuamukah?” lanjut Ina’ sedikit lembut.
“Itu bapakku menjual koran kak, kalau mama’ku meninggalmi,” Ina’ kaget. Anak ini begitu tangguh, sangat jauh dari dirinya. Belum sempat dia merogoh kantong celananya, lampu hijau sudah menggantikan lampu merah dan suara klakson dari belakang bertubi-tubi menyerangnya. Dengan terpaksa ia meninggalkan bocah-bocah itu. Lain kali saja, ucapnya dalam hati.
Lepas memikirkan bencana di tv tadi, Ina’ ganti memikirkan anak jalanan di bawah flyover yang baru saja dilaluinya. Ternyata, ibunya telah tiada. Betul-betul tidak bersyukurka selama ini. Masih lengkapji orang tuaku, masih seringka mengeluh, hanya untuk seonggok harta. Malah sering kumarahi mereka, seakan tidak butuhka orang tua.
Perasaannya semakin bergejolak, hampir saja dia menangis di atas motor.
***
Jalan perintis kemerdekaan, lampu merah kembali menghadang. Kali ini di depan pintu I Unhas. Ina’ melihat beberapa orang melintas dan membawa sebuah kardus. Salah seorang lalu menyapanya, “Assalamu Alaikum, mohon donasinya untuk saudara-saudara kita yang tertimpa musibah di Sidrap,”
Ternyata mereka adalah sekumpulan mahasiswa yang turun ke jalan dalam aksi penggalangan dana. Tanpa berpikir panjang, Ina’ menarik uang dalam kantongnya. Mahasiswa itu pun mengucap terima kasih sembari berlalu dari hadapannya.
Ina’ merasa legah bisa berbagi, meskipun tidak seberapa dan merupakan uang terakhir yang dimilikinya saat itu. Perjalanan pulang kali ini terasa begitu lama namun sangat berarti. Ina’ yang tadinya terduduk lesuh tak kuasa menahan perihnya ujian hidup kini bisa kembali semangat.
Mahasiswa tadi, bukanji dirinya na’urus. Lumayan tinggi juga kepeduliannya terhadap sesama.
Anak-anak tadi, tidak sedihji meskipun harus mengamen di jalan.
Korban bencana puting beliung, bisa ji menata hidupnya kembali.
Kenapa saya tidak? Saya masih muda, perjalananku masih panjang. Bisaka lagi merasakan yang namanya bangku kuliah.
Insya Allah kalau sampaika rumah, mauka minta maaf sama mama’ sama bapak deh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H