Enam bulan lebih sejak awal merebaknya pandemi COVID-19, ancaman krisis ekonomi global kian tak terelakan. Pertumbuhan ekonomi hampir di seluruh negara saat ini mengalami perlambatan bahkan tumbuh negatif. Data tradingeconomics.com menyebut hingga Kuartal-II 2020, ekonomi negara-negara maju terkontraksi lebih dalam, seperti Amerika Serikat anjlok -9,5%, Uni Eropa (-14,4%), Jepang (-1,7%), Korea Selatan (-2,9%), Singapura (-12,6%), dan Tiongkok di Kuartal-I -6,8%. Uni Eropa, Jepang, dan Singapura bahkan sudah masuk jurang resesi, setelah dua kali berturut-turut ekonomi kuartalnya tumbuh negatif. Apesnya, negara-negara tersebut merupakan mitra dagang dan investor utama Indonesia, yang tentu berdampak bagi ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri di Kuartal-I tahun ini hanya 2,97%, meleset jauh dari target kisaran 4,5%-4,6%. Di Kuartal-II, angkanya turun drastis hingga -5,32% setelah makin meluasnya penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) (BPS, 2020). Jika di Kuartal-III mendatang pertumbuhan ekonomi tetap negatif, maka ancaman resesi di Indonesia kian menjadi nyata.
Demi pemulihan ekonomi nasional, pemerintah pada awal Juni lalu segera membuka sembilan sektor ekonomi pasca melonggarnya penerapan PSBB. Yakni, sektor pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik, serta transportasi.Â
Kesembilan sektor ini memiliki resiko penularan COVID-19 rendah, namun berdampak signifikan bagi ekonomi dan lapangan kerja. Dari sembilan sektor terpilih yang sangat potensial dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional adalah sektor perikanan. Â
Secara umum, aktivitas produksi sektor perikanan baik tangkap maupun budidaya, masih tetap bisa berjalan di masa pandemi karena bersifat soliter dan jauh dari kerumunan. Namun, permintaan (pasar) produk perikanan pada awal masa pandemi sempat mengalami penurunan akibat terganggunya sistem dan aliran logistik. Alhasil, harga ikan saat itu turun hingga sebagian nelayan dan pembudidaya menghentikan produksinya.
Meskipun demikian, kinerja sektor perikanan di masa pandemi menunjukkan capaian yang positif. Data BPS menyebut hingga Kuartal-I 2020, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan tumbuh positif diatas PDB nasional yakni sebesar 3,52%. Selama periode Januari-Mei 2020 pun, ekspor produk perikanan nasional naik 3,67% dibanding tahun 2019 atau mencapai 1,87 miliar USD.Â
Komoditas udang menjadi penyumbang nilai ekspor tertinggi dengan kenaikan 10,35%. Selain itu, nilai tukar nelayan dan pembudidaya (NTNP) hingga Juni 2020 rata-rata diatas 100, meski sempat turun dibawah 100 pada April, yang berarti pemasukkan nelayan dan pembudidaya masih lebih besar dibanding pengeluaran.
Dilihat dari aspek kesehatan, ikan juga merupakan sumber pangan kaya nutrisi yang mampu membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Dengan sering mengkonsumsi ikan, diyakini tubuh menjadi kuat sehingga tak mudah terserang penyakit termasuk COVID-19.Â
Oleh karena itu, tak ayal sektor perikanan diharapkan mampu menjadi andalan dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Apalagi, potensi sektor perikanan Indonesia hingga saat ini masih belum optimal tergarap.
Sebagai gambaran, jika kita estimasi dari usaha tambak udang vanamei intensif saja sekitar 500.000 ha (17% potensi lahan tambak Indonesia) dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, bisa diproduksi 20 juta ton udang/tahun. Bila diekspor setengahnya dengan harga udang rata-rata 5 USD/kg, maka akan dihasilkan devisa hingga 50 miliar USD/tahun, lebih tinggi dari nilai ekspor komoditas unggulan Indonesia saat ini (CPO, bahan mineral, dan migas).
Strategi PercepatanÂ