Ditengah situasi pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, salah satu sektor yang bisa menjadi andalan sumber pertumbuhan ekonomi baru yaitu sektor perikanan budidaya. Tercatat estimasi potensi nilai ekonomi sektor ini mencapai 210 miliar US$/tahun atau setara 1,5 kali lipat nilai APBN tahun 2017. Sementara nilai ekonomi yang berhasil diperoleh dari sektor ini pada 2015 baru Rp. 121 triliun (KKP, 2016).Â
Dari sejumlah komoditas perikanan budidaya yang memiliki andil terbesar terhadap nilai ekonomi yaitu Udang. Setiap tahun, udang memberi kontribusi hampir seperempat terhadap total nilai produksi perikanan budidaya.Â
Nilai ekspor komoditas udang tercatat selalu lebih tinggi dibanding produk unggulan perikanan lainnya seperti tuna cakalang tongkol (TCC), kepiting, rumput laut, mutiara, dan produk-produk olahan. Tahun lalu, capaian nilai ekspor dari komoditas udang mencapai 1,47 miliar US$ atau 33% dari keseluruhan nilai ekspor produk perikanan Indonesia (KKP, 2018).
Besarnya nilai ekonomi udang dipengaruhi oleh harga dan permintaan pasar yang relatif tinggi. Di Amerika Serikat sebagai pangsa pasar ekspor udang terbesar Indonesia, hampir 30% produk seafood yang dikonsumsi adalah Udang (National Fisheries Institute, 2017). Pada 2016, kita berhasil menyumbang sekitar 117 ribu ton udang (terbesar kedua setelah India) untuk konsumsi di negeri Paman Sam tersebut (NOAA, 2017).Â
Di tataran global, Indonesia memang termasuk negara produsen udang terbesar di dunia bersama China, India, Vietnam, Ekuador, dan Thailand. Tahun lalu, kita berada diperingkat ke-6 dengan capaian produksi sebesar 390 ribu ton (SCI, 2017). Â
Sejumlah capaian diatas, masih belum optimal jika dibandingkan dengan potensi lahan yang tersedia. Wilayah pesisir Indonesia memiliki sekitar 2,9 juta hektar lahan potensial untuk budidaya air payau/tambak dan baru termanfaatkan 22,5 % (KKP, 2015). Artinya, masih ada sekitar 2,2 juta hektar lahan potensial budidaya yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan produksi budidaya air payau terutama udang.
Jika kita estimasi untuk usaha tambak udang vanamei intensif sekitar 500.000 ha saja dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun, maka bisa diproduksi 20 juta ton/tahun. Dengan harga udang on-farm rata-rata 5 US$/kg, bisa dihasilkan 100 miliar US$/tahun. Bila diekspor setengahnya, maka kita akan meraih devisa 50 miliar US$/tahun (lebih unggul dari penyumbang devisa terbesar tahun lalu yakni kelapa sawit).Â
Tantangan di Indonesia
Selain rendahnya tingkat pemanfaatan potensi lahan tambak, persoalan lain yang menjadi tantangan utama pengembangan budidaya udang di Indonesia yaitu rendahnya produktivitas usaha. Tercatat luas usaha tambak udang eksisting Indonesia pada 2017 mencapai 380 ribu Ha. Dari luas tersebut, sebanyak 65% digunakan untuk usaha budidaya secara tradisional, selebihnya 25% semi intensif dan hanya 10% intensif (SCI, 2017). Akibatnya, produktivitas rata-rata usaha budidaya udang menjadi sangat rendah hanya kurang dari 2 ton/ha/tahun, dimana kontribusi terbesar diperoleh dari usaha budidaya intensif.
Secara garis besar, kurang optimalnya pemanfaatan potensi usaha budidaya udang baik secara kuantitas maupun kualitas didasari oleh: Pertama, akses permodalan untuk usaha budidaya udang masih sangat minim baik dari pinjaman bank, modal ventura, maupun hibah. Padahal modal yang diperlukan usaha budidaya udang intensif cukup besar, sementara para pelaku budidayanya umumnya UMKM.Â
Kedua, terbatasnya sarana pokok produksi terutama induk (broodstock), pakan, dan obat-obatan murni produk dalam negeri sehingga masih ketergantung pada  produk impor.