mengapa korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi
 Dewasa ini kasus korupsi bukan menjadi suatu hal yang asing atau baru bahkan saat ini sedang marak di Indonesia, berbagai kasus korupsi seperti yang dilansir dari laman web databoks.katadata.co.id Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 85 kasus tindak pidana korupsi  selama periode 1 Januari hingga 6 Oktober 2023. Perkara terbanyak berupa penyuapan atau gratifikasi dengan jumlah total 44 kasus, setara 51,76% dari total kasus korupsi yang ditangani KPK hingga akhir bulan lalu. Berdasarkan laporan KPK, periode 1 Januari-6 Oktober 2023 mayoritas tindak pidana korupsi dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota, yakni sebanyak 29 kasus. Lalu di instansi kementerian/lembaga ada 26 kasus, BUMN/BUMD 20 kasus, dan pemerintah provinsi 10 kasus. Dari segi profesi pelaku, mayoritas kasus korupsi sejak awal tahun ini dilakukan pejabat eselon I, II, III dan IV, yaitu sebanyak 39 kasus. Kemudian pelakunya pihak swasta ada 26 kasus, wali kota/bupati dan wakilnya 4 kasus, hakim 2 kasus, dan pengacara 2 kasus. Ada pula kasus korupsi yang pelakunya anggota DPR dan DPRD, kepala lembaga/kementerian, dan gubernur masing-masing 1 kasus, serta profesi lainnya 9 kasus.
Dari data tersebut bisa kita ketahui dan tarik kesimpulan bahwa sebagian besar pelaku korupsi adalah pegawai pemerintah terlebih lagi para pemangku jabatan dan para pejabat negara, lantas mengapa? Bukannya mereka adalah orang yang memiliki pendidikan tinggi yang seharusnya mengetahui bahwa korupsi adalah tindakan yang salah dan menyebabkan kerugian besar bagi negara? Gaji yang mencukupi dan jaminan serta fasilitas dari negara untuk para pejabat apakah masih kurang?
Jauh sebelum itu ada baiknya kita mengetahui secara jelas apa yang dimaksud dengan korupsi. Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat  dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Korupsi merupakan fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan yang sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak pihak. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian kepada masyarakat. Korupsi memiliki dampak buruk di berbagai bidang, termasuk perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Korupsi dapat merusak nilai-nilai moral dan keadilan, mengganggu/menghambat pembangunan, menimbulkan korban individu maupun kelompok masyarakat, membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan dapat menghancurkan potensi efektivitas dari semua program pemerintah, membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa para pelaku korupsi sebagian besar berasal dari para pegawai pemerintah dan pejabat? Jawabannya adalah korupsi tidak pandang bulu. "Korupsi tanpa memandang bulu" adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa korupsi dapat terjadi pada semua lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial, jabatan, atau profesi seseorang. Artinya, siapa pun dapat terlibat dalam tindakan korupsi, baik itu pejabat pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. Korupsi dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak terbatas pada orang kaya atau berpendidikan tinggi, meskipun kecenderungan untuk melakukan korupsi bisa berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor. Namun, ada beberapa alasan mengapa orang kaya atau berpendidikan tinggi terkadang terlibat dalam kasus korupsi:
- Peluang dan Akses: Orang-orang dengan kekayaan atau kekuasaan sering memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi. Mereka mungkin memiliki kontrol atas sumber daya penting, kontrak pemerintah, atau keputusan bisnis yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.
- Tekanan dan Lingkungan: Terkadang, tekanan dari lingkungan sekitar, seperti dalam lingkungan bisnis atau politik, bisa mendorong orang untuk terlibat dalam korupsi. Lingkungan di mana korupsi telah menjadi "budaya" atau dianggap sebagai cara yang diterima untuk mencapai tujuan tertentu dapat mempengaruhi individu, termasuk orang kaya dan berpendidikan tinggi.
- Kepercayaan pada Keuntungan Pribadi: Meskipun seseorang memiliki pendidikan tinggi, pandangan moral dan etika bisa bervariasi. Orang yang berpendidikan tinggi tidak selalu terhindar dari keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak etis atau melanggar hukum.
- Kekuasaan dan Kesenjangan: Orang-orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan sering kali memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengeksploitasi kesenjangan kekuasaan yang ada. Kesenjangan kekuasaan ini dapat mendorong orang-orang tersebut untuk menyalahgunakan posisi mereka demi keuntungan pribadi.
Korupsi bukanlah sifat yang melekat pada status sosial atau pendidikan seseorang, tetapi lebih kepada faktor-faktor psikologis, situasional, dan lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Penegakan hukum yang tegas, sistem pengawasan yang baik, dan pembinaan integritas menjadi penting dalam upaya untuk mengurangi kasus korupsi di masyarakat. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi yang paling signifikan dalam mempengaruhi perilaku individu atau kelompok untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Faktor internal seperti kurangnya pembentukan karakter yang kuat atau kurangnya penanaman nilai-nilai moral yang baik dapat menyebabkan individu rentan terhadap godaan korupsi. Jika seseorang tidak memiliki landasan moral yang kuat, ia mungkin lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan yang tidak etis demi keuntungan pribadi.
keserakahan atau dorongan yang kuat untuk memperoleh kekayaan dapat mendorong individu untuk mencari cara-cara ilegal atau tidak etis untuk mencapai tujuan tersebut. Kebutuhan akan status, kekuasaan, atau kekayaan bisa menjadi pemicu kuat dalam tindakan korupsi. Orang-orang yang terlibat dalam korupsi mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak negatifnya terhadap masyarakat, perekonomian, atau lembaga yang terlibat. Kurangnya kesadaran akan konsekuensi dari tindakan korupsi dapat membuat mereka lebih mudah melakukan hal tersebut.
Meskipun faktor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi kecenderungan terjadinya korupsi, faktor internal memiliki peran yang sangat besar karena berkaitan langsung dengan nilai, integritas, dan keputusan individu. Upaya pencegahan korupsi sering kali mencoba untuk membangun kesadaran akan risiko dan konsekuensi tindakan korupsi, meningkatkan integritas individu, dan memperkuat sistem pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H