Di tahun 1980-an, seorang psikologis bernama Dr. Reuven Baron memulai riset di bidang etika dan perilaku terhadap orang-orang yang dinilai pintar. Tahun 1985, dia menciptakan istilah kecerdasan emosi dan terus menguji keilmiahan dari teorinya. Tahun 1997, setelah 17 tahun meneliti, dia menerbitkan tulisan yang memverifikasi validitas dari kecerdasan emosi.
Terdapat beberapa faktor dalam kecerdasan emosi yang menunjang kompetensi seseorang dalam suatu lingkungan kerja. Ada faktor kesadaran diri untuk memahami emosi pribadi dan mengendalikannya. Lalu faktor empati agar bisa lebih mengerti orang lain dan membaca arah dinamika berkelompok. Faktor ketegasan untuk mengekspresikan perasaan, keyakinan, dan pemikiran secara efektif tanpa agresivitas yang berlebihan.
Kecerdasan emosi juga akan memampukan seseorang untuk membedakan pengalaman subyektif dari fakta-fakta yang obyektif, mengatur harapan yang realistis, dan menolak impuls atau dorongan untuk bertindak secara terburu-buru.
Selanjutnya, kecerdasan emosi yang tinggi ditandai oleh keahlian beradaptasi secara fleksibel dengan menyesuaikan perilaku terhadap perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Membangun perilaku yang konstruktif serta penuh percaya diri untuk berkinerja secara lebih baik.
Dan banyak sikap-sikap lainnya yang menunjukkan ketinggian dari kecerdasan emosi seseorang seperti rasa tanggung jawab, mandiri tapi mau bekerja sama dan jadi pendengar yang baik, optimis serta banyak sifat-sifat positif yang tahan terhadap stres ataupun tekanan.
Kecerdasan emosi akan sangat mendukung kesuksesan seseorang kala menghadapi masalah dari lingkungan dan tantangan dari orang lain. Hasrat diri untuk beraktualisasi akan memenuhi potensi kapasitas dirinya agar mampu menciptakan kehidupan yang sejahtera.
Dengan kata lain, kecerdasan emosi yang tinggi berarti motivasi yang tinggi juga untuk mencapai sukses.
Pemimpin yang cerdas emosinya akan bisa memberikan keteladanan yang inspiratif untuk dicontoh, dan arahan yang efektif berkat pemahamannya pada emosi dirinya dengan orang-orang dalam interaksi sosialnya. Para manajer yang meningkat kecerdasan emosinya akan menjadi visioner, inovatif, serta semakin kompeten dalam mengelola diri dan orang lain.
Komunikasi antar rekan kerja, kepada atasan atau bawahan, dan sama pihak-pihak lainnya yang terkait akan semakin lancar berkat peningkatan kecerdasan emosi ini. Jaringan binis dan dinamika kelompok kerja akan mampu mengatasi segala tantangan dalam berinteraksi. Para pegawai akan menjunjung integritas yang tinggi, karyawan menjadi proaktif dan bersemangat dalam bekerja.
Kita bisa meningkatkan kecerdasan emosi ini dimulai dari diri sendiri (selain mengikuti trainingnya), misalnya dengan mempelajari emosi-emosi yang negatif. Kita harus belajar mengenal penyebab dan teknik menenangkan diri dari emosi yang negatif. Saya akan menuliskan beberapa tip praktis untuk meningkatkan kecerdasan emosi di tempat kerja dalam blog 100motivasi ini di tulisan-tulisan selanjutnya. Selain itu, kita perlu mengerti petunjuk-petunjuk non-verbal dari interaksi kita dengan orang lain.
Maka dari itu, kemampuan untuk bisa asertif dan mengeluarkan emosi-emosi yang sulit amat diperlukan jika kita ingin meningkatkan kecerdasan emosi ini. Dan tentunya juga bersama dengan kemampuan kita dalam mengungkapkan emosi-emosi yang intim dalam hubungan personal kita.