Di dunia yang penuh ketidakpastian, ada beberapa hal yang pasti: bahwa kita semua akan sakit, menua,
dan akhirnya mati. Singkatnya, penderitaan adalah hal yang pasti terjadi pada setiap orang. Sedangkan
kesenangan, hanya singgah bagai mimpi sesaat. Kesenangan hanya bersifat sementara. Kesenangan
tergantung beberapa hal di luar diri yang terbatas. Dan kesenangan semakin lama semakin berkurang
nikmatnya, seperti menikmati makanan enak yang sering/banyak disantap, akhirnya membuat muak.
Akhrinya, kesenangan hanya seperti lapisan gula di tipis pada pil pahit. Manisnya cepat habis seiring
konsumsi dan akhrinya kita menemukan kenyataan pahit itu.
Hidup adalah penderitaan. Untuk ada, eksistensi kita memiliki saudara kembar: ego. Ego menyatakan
identitas kita, individualitas kita, asa untuk ada. Ego memampukan kita untuk bertahan hidup dan berjalan
maju. Ego mencipta estetika, romansa cinta, keluarga hingga negara. Namun, ego juga membuat kita
merasa: marah, benci, iri, dan segala emosi yang bikin sakit hati. Ego bisa membuat kita depresi...
Dan banyak dari kita yang mencoba melupakan ego, menghilangkannya bahkan. Banyak membantu orang
lain, memikirkan kepentingan yang lain: anak, pasangan, karya, bangsa, agama, dan dengan berusaha
setulusnya. Kita mengalihkan perhatian dari diri sendiri/ego kepada yang lain. Menolong orang, mencintai,
dan bekerja hingga lupa diri. Dan yang parah berusaha menghilangkan kesadaran dengan zat
memabukkan. Namun, selama kita ada di dunia, kita membutuhkan ego untuk hidup. Ngerinya lagi, ego
itu tak memiliki substansi: kosong. Ego itu hampa... Inilah ironi utama, ego membawa derita tak
terelakkan. Kehampaan...
Kita berusaha mengisinya dengan mitos-mitos, kisah bahwa ego yang abadi melewati kematian atau
mengalami ribuan kehidupan. Kita menganalisa dan berfilosofi, pada hal yang tak pasti: metafisika. Kita
mencoba memikirkan persoalan-persoalan gaib yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Kita menjadi
berspekulasi dan melupakan satu masalah, satu hal yang pasti: Hidup adalah penderitaan. Dan, kalau kita
mau kita bisa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Melenyapkan penderitaan dan menerbitkan
kebahagiaan yang sejati. Perjalanan yang berat meski tak mustahil. Dengan berkontemplasi, kita akan
mendapatkan jawabannya: Bahwa penderitaan ada akhirnya.
Derita bisa berakhir dengan upaya, dimulai dari pikiran yang jernih dan tidak berspekulasi, memandang
segala sesuatu apa adanya, dan berbuat semaksimal mungkin untuk kebaikan sesama. Tidak sulit, namun
tantangan utamanya adalah: Melepaskan segala keterikatan. Dengan merelakan semua mengikat pikiran
kita, ego tak punya landasan untuk berdiri. Dan pada akhirnya ilusi kehidupan pun terkuak, tirai derita
membuka pada kebahagiaan murni. Tak perlu menuntut, cukup mencari dan menerima. Tak perlu
mengiba, cukup mencipta dan menerima. Tak perlu mengharap, cukup menjaga dan menerima. Dan tak
perlulah lagi ketakutan itu, cukuplah kita amati, pelajari, dan hadapi...
Apa yang bisa kita lakukan setelah menerima semuanya apa adanya? Kita bisa mencintai segalanya. Dan
pernyataan hidup adalah penderitaan berubah menjadi hidup adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
mencintai segalanya apa adanya...
Semoga Semua Mahluk Berbahagia!
Penulis; http://100motivasi.wordpress.com/kontak/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H