Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mangan Ora Mangan Tetep Kumpul

8 Juni 2016   09:15 Diperbarui: 8 Juni 2016   09:34 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Banyak peribahasa yang sering dipergunakan oleh masyarakat adat di Indonesia. Sebut saja kaki naek kepala turun adalah peribahasa orang Palembang yang menggambarkan betapa kerja kerasnya seseorang. Ada juga peribahasa Jawa yang menggambarkan kekeluargaan, seperti mangan ora mangan tetep kumpul (makan ngak makan tetep saja kumpul)

Makna yang tersirat didalam peribahasa sangatlah tergantung konteks penggunaannya. Pada prinsipnya peribahasa merupakan bentuk ke-arifan lokal yang sudah mengakar kuat di masyarakat penggunanya. Kalaulah istilah makan ngak makan tetep kumpul diterjemahkan secara lepas adalah walaupun ada atau tidak ada makanan kita akan tetap bersama-sama, dan masyarakat yang melakukan budaya ini memiliki kecenderungan untuk tetap berkumpul atau bersilaturahmi.

Di dalam peribahasa makan ngak makan tetap saja kumpul menggambarkan betapa sosialisasi masyarakat tradisional sangatlah kental. Mereka akan tetap menjalin pertemanan walaupun dengan atau tanpa panganan sebagai penghormatan bagi tamu. Selain daripada itu, ada simbol kerukunan antar warga sehingga ada kerinduan untuk berkumpul dengan kerabat.

Tradisi mangan ora mangan tetep kumpul berkembang sudah sangat lumrah kita temui di masyarakat agraris, sebut saja Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan daerah pertanian lainnya. Kebiasaan dari tetua kita yang ketika beristirahat sesudah lelah menanam padi untuk makan siang bersama tetangga atau kolega kerjanya di petak sawah. Mereka biasanya suka cita berbagi cerita sekaligus makan siang bersama dan waktupun berlalu tanpa merasakan beratnya hidup.

Ada nilai-nilai positive yang timbul dari tradisi ini, disamping juga ada sedikit ekses negatif yang bila diterjemahkan oleh orang yang tidak pernah merasakan tradisi ini sebagai sesuatu yang "hanya membuang-buang waktu saja". Tapi sebaliknya, manfaat yang diperoleh dari bentuk silaturahmi antar tetangga ini sangatlah banyak terutama adanya ikatan emosional di dalam strata sosial masyarakat, ikatan kekeluargaan (saling meerasakan kegembiraan dalam bekerja), adanya penyatuan rasa kulturasi budaya lokalnya.

Pada masa sekarang ini tradisi ini banyak mengalami tantangan terutama sudah tidak menjadi trending issue di masyarakat pedesaan (rural community). Setelah mengalami perubahan generasi, para kaum muda sudah tidak banyak lagi yang bergelut di sektor pertanian tradisional, sehingga makin jauhlah budaya ini.

Tradisi yang Sudah Luntur

Memasuki era digitalisasi dan globalisasi, banyak pemuda desa memakai gadget untuk berbagai keperluannya. Belum lagi sebagian anak-anak pedesaan melakukan migrasi ke perkotaan maupun sampai luar negeri demi untuk mengejar pekerjaan dan pendidikan.

Dan pada saat ini budaya Midang (dalam istilah Enim di Sumatera Selatan) yang dalam bahasa umumnya Silaturahmi sudah mulai berkurang. Budaya silaturahmi sudah mulai sangat jarang dilakukan oleh para pemuda desa dan digantikan oleh network lewat jaring internet atau handphone, yang katanya mendekatkan yang jauh.

Selain kemajuan dunia Teknologi Informasi, mobiltas masyarakat menjadi faktor tambahan lainnya. Orang pedesaan sudah banyak tidak lagi menekuni aktivitas pertanian dan mereka sudah tidak memperoleh pendidikan mengenai budaya asli daerahnya baik dari gurunya ataupun para orang tua. Pemberian petuah atau informasi budaya yang tak lekang oleh masa seharusnya disampaikan secara bijak melalui institusi pendidikan lokal. Bisa melalui pelajaran Muatan Lokal, yang SEHARUS tidak hanya mempelajari tarian atau nyanyian tradisional saja. Prinsip budaya lokal seperti budaya silaturahmi melalui jargon Mangan ora mangan kumpul, sebaiknya dikupas habis di pelajaran muatan lokal. Akhirnya generasi muda mendapat pandangan jelas mengenai kearifan lokal tersebut secara komprehensif dan manfaatnya bila dilestarikan.

Tantangan lainnya adalah budaya instant yang banyak ditampilkan oleh dunia hiburan memalui ajang pencarian bakat membuat sebagian generasi muda terlena. Mereka terpola kerangka berpikirnya bahwa lebih baik menjadi orang terkenal (dengan iming-iming hidup mewah) dari pada capek-capek pegang cangkul dan hidup berkawan sama binatang-binatang di sawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun