Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dan Kami pun Harus Berbagi

27 Juni 2016   15:58 Diperbarui: 27 Juni 2016   17:38 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepanjang jalan pulang kantor, aku masih sempat melihat lelaki paruh baya menawarkan koran kepada pengendara mobil dan motor yang berhenti. Yang menarik dari si Mas tersebut, dia adalah lelaki dengan kaki yang hanya satu. Dia begitu gigih berusaha dan berjuang dengan kerasnya hidup di perkotaan, tampak di wajahnya yang mungkin tidak merepresentasikan usianya, juga kelihatan kakinya yang melompat-lompat untuk menghampiri dari satu mobil ke mobil berikutnya. Betapa beruntungnya aku dan keluargaku pada saat ini.

Berikutnya kisah kedua dari siswaku, dia termasuk anak yang cerdas, punya kemauan untuk belajar dan memiliki segudang presetasi. Di sekolah dia aktif berorganisasi, tapi sayang dia dibesarkan di keluarga yang kekurangan. Ayahnya hanyalah seorang penarik becak, sedangkan ibunya tidak bekerja atau sibuk mengurus ketiga buah hati mereka. 

Keluarga itu hidup sangaaaaaat sederhana di rumah kontrakan seharga dua ratus ribu per bulan yang melihat kondisi rumahnya saja sudah bisa kita akan miris. Di bawah rumah panggung, dengan bahan terbuat dari papan yang sudah lapuk dan kalau hujan lebat anginnya akan masuk melalui lubang yang menganga sebagian. Si siswa punya semangat yang tinggi untuk kuliah, dengan berbekal sebuah tanda lulus di universitas islam dia memberanikan diri untuk mendaftarkan diri. Walaupun belum ada uang pendaftaran dia berusaha terus, terus dan terus hingga ada seseorang yang mau membantu.

Kisah ketiga adalah petani ex-transmigran di piggiran kota. Hidup dengan menggarap lahan milik tuan tanah di kota, sang petani menanam sayur dan buahan yang cepat berbuah. Dia dan anggota keluarganya hidup sangat sederhana. Anaknya yang tertua terpaksa pergi merantau  ke negeri jiran demi sebuah pekerjaan membantu orang tua, anak kedua kerja di kota walaupun dia baru berusia sebelas tahun dan anaknya ketigapun ikut pergi ke kota bekerja sebagai kuli kasar di suatu usaha jasa sewa peralatan pesta.

Ketiga kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai epik kemiskinan di Indonesia. Rasanya kalau kita pergi ke Mall-mall besar di kota, tidak ada orang yang miskin di bumi Indonesia. Cobalah pergi ke Grand Indonesia, Mall Taman Anggrek, Thamrin City, dan lainnya. Semua orang sibuk berbelanja dengan beragam assesoris yang mereka miliki seperti gadget dan kendaraan yang lux.

Begitulah jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sering saya berfikir, apakah tidak ada keadilan di dalam kehidupan ini? mengapa banyak orang yang tidak beruntung sehingga mereka hidupun harus berjuang mati-matian hanya untuk makan sehari-hari. Sedangkan orang lain yang dianugerahi Alloh dengan kesenangan harta yang berlimpah.

Kalau kita lebih renungi, keindahan hidup ini bukan dari samanya jumlah harta yang kita miliki, tapi terletak kebahagiaan kita untuk membagi miliki kita atau sebagiannya kepada orang yang tidak punya. Bukankah dengan adanya si miskin dan si kaya, kita diciptakan-Nya untuk berbeda dalam corak kehidupan ini. Sama seperti warna lukisan, seandainya warnanya sama "merah semua misalnya" maka lukisan itu tidak akan menarik. Tetapi ketika dicampur antara warna merah dan putih, maka jadilah warna ungu atau pink sehingga muncul keselarasan warna yang kontras dan enak dipandang. 

Oleh karenanya, hikmah  kita berbagi kepada kaum yang papa adalah agar timbulnya rasa memiliki dan kebersamaan di antara saudara sebangsa atau sesuku. Dengan begitu dihaarpkan terjadi asimiliasi antara kaya dan miskin, ada kesatuaan tanpa adanya jurang yang terpisah di antara kedua kelompok tersebut.

Berbagi kata kuncinya adalah keinginan untuk membagi yang kita miliki, sehingga membuang sifat serakah dan kesombongan di dalam diri kita. Akhirnya muncul rasa cinta di antara ummat manusia.

Palembang, 27 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun