Mohon tunggu...
Reza Tehusalawany
Reza Tehusalawany Mohon Tunggu... -

Kehidupan yang berpikir adalah Kehidupan yang menulis. Kehidupan yang berpikir adalah Kehidupan yang berkaitan dengan perubahan, perubahan untuk sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikmati Hidup di Kota (Jakarta)

10 Maret 2011   07:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah mungkin dapat menikmati hidup di kota Jakarta? Ini pertanyaan menggelikan yang mungkin hanya akan di jawab dengan senyuman tanpa arti.

Lihatlah portal resmi pemprov DKI Jakarta. Ketika membuka portal itu akan muncul “Welcome to Jakarta, the Diplomatic Capital City of the Region – Towards a Global Community of Nations”. Kemudian akan terlihat juga tagline yang bertuliskan “Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”. Terasa menyedihkan membaca hal-hal demikian. Mengapa? Tidak terlihat realitas kata-kata tersebut dalam kehidupan sehari-hari di kota Jakarta.

Hidup di Jakarta bisa dikatakan sangat tidak nyaman. Sehari-hari bertemu dengan kemacetan, yang sepertinya sudah tidak mungkin lagi terurai. Lihatlah bertahun-tahun hal tersebut tidak pernah tuntas diselesaikan. Ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah, baik di tingkat propinsi maupun pusat, dalam menyelesaikan problem yang ada.

Menurut penelitian LIPI tahun 2007, dampak dari kemacetan yang diderita masyarakat lebih dari Rp 17,2 triliun per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan, terutama bahan bakar. Belum lagi emisi gas buang yang dapat menyebabkan pemanasan global yang diperkirakan 25 ribu ton per tahun. Hal ini menyebabkan Jakarta sebagai kota dengan tingkat polusi tertinggi kelima di dunia setelah Beijing, New Delhi, Meksico City dan Bangkok. Bahkan, ada suatu perhitungan yang memperkirakan kerugian dari kemacetan lalu-lintas ini mencapai Rp 43 triliun per tahun.

Dampak pada tahap selanjutnya dari kemacetan tersebut adalah menurunnya produktivitas ekonomi kota, bahkan negara dan merosotnya kualitas hidup warga kota akibat polusi udara dan stress.

Terus apakah hidup di Jakarta dapat dikatakan “Sejahtera untuk semua?” Dari kamus besar bahasa Indonesia, sejahtera berarti “aman, sentosa, dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dsb)” Dari Wikipedia, akan ditemukan bahwa arti sejahtera secara umum, menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Secara ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Dari segi kebijakan sosial, sejahtera menunjuk kepada jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan definisi diatas dapat kita bandingkan dengan realitas kondisi di Jakarta.

Namun, secara sederhana saya mendefinisikan sejahtera sebagai bebas dari ‘rasa lapar’ dan ‘rasa takut’. ‘Rasa lapar’ berhubungan dengan pemenuhan makanan-minuman, dan hal ini identik dengan kesejahteraan. Kesejahteraan tidak hanya berhubungan dengan pemenuhan makanan-minuman (pangan), tetapi juga pemenuhan kebutuhan sandang, akses dan kemampuan mendapatkan perumahan yang layak, ketersediaan lapangan kerja, ketersediaan pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, serta ketersediaan mendapatkan kebutuhan bahan bakar dengan mudah dan murah. Maka ketika ‘rasa lapar’ masih memenuhi penduduk kota, sulit untuk mengatakan bahwa kota tersebut memberi sejahtera bagi penduduknya.

Bebas dari rasa takut, ialah dalam hal keamanan bagi penduduk, tetapi juga rasa takut dalam arti yang lebih luas, termasuk dalam berekspresi, meyakini sesuatu, dan lain-lain. Ketika kesejahteraan penduduk belum sepenuhnya terjamin, maka sudah pasti keamanan penduduk pun belum terjamin sepenuhnya. Dalam hal berekspresi ataupun meyakini sesuatu, kita belum sepenuhnya yakin mendapat perlindungan dari negara, dalam hal ini pemerintah provinsi.

Kondisi ini membuka mata kita bahwa pemerintah (baik provinsi maupun pusat) seperti tidak mempunyai konsep dalam membangun kota Jakarta ini (bahkan mungkin juga kota/desa lain di negeri ini). Maka judul tulisan ini kemudian menjadi absurd.

Apakah pemerintah hendak membantahnya? Lihatlah realitas, jangan hanya melihat statistik.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun