Mohon tunggu...
Reza Syariati
Reza Syariati Mohon Tunggu... profesional -

Sepah e pazdaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Epos Jokowi Sang Demigod

16 Desember 2013   20:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:51 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1387198755176933794

[caption id="attachment_309116" align="aligncenter" width="540" caption="Perseus, Manusia Setengah Dewa Putra Zeus, Mengalahkan Kraken Dengan Kepala Medusa"][/caption] Demigod adalah sebutan bagi manusia setengah dewa. Kisah manusia setengah dewa telah hidup selama ribuan tahun dari berbagai mitologi baik di barat dan timur. Dalam mitologi Yunani, satu ketika Zeus, Dewa tertinggi penguasa Olympus turun ke bumi, mencumbui Danae. Hasil percumbuan tersebut lahirlah Perseus. Dikisahkan, Perseus berhasil membunuh Kraken, prajurit perang para Dewa Olympus saat menaklukan para Titan dalam perebutan kekuasaan ribuan tahun silam. Perseus menggunakan kepala Medusa untuk mengalahkan Kraken. Bukan saja Danae, Zeus juga mencumbui Alcmena yang akhirnya melahirkan Hercules. Romulus dan Remus, pendiri kota Roma, dikisahkan merupakan putra dari Dewa Mars yang mengawini Rhea Silvia, putri Numitor, raja Alba Longa. Sedangkan dalam kitab Mahabaratha, Bisma adalah putra Prabu Pandu, Raja Hastinapura yang mengawini Dewi penguasa Sungai Gangga. Begitu pula Adipati Karna (Karno) dan para saudaranya Pandawa lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) merupakan anak para dewa yang menggauli Kunti dan Madrim, kedua istri Prabu Pandu. Konon Gajah Mada juga putra dewa Brahma yang mendatangi Nari Ratih dengan menyamar menjadi Mpu Sura Dharma. Begitu pula dengan Ken Arok, dalam Pararaton yang juga putra Brahma dari percumbuan dengan Ken Ndok. Rupanya, sebutan Demigod atau manusia setengah dewa diberikan kepada kelahiran yang tidak diketahui asal-usulnya atau lahir tanpa diketahui ayah biologisnya. Kemarin, Jokowi Widodo, Gubernur DKI Jakarta, baru saja "dinobatkan" sebagai bakal Calon Presiden dengan peringkat setengah dewa. Jokowi seperti tak terkalahkan dan menentukan, demikian kira-kira yang dimaksud dari temuan hasil data panel survei nasional Cyrus Network. Beritanya bisa dilihat di tempo dan kompas. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa Jokowi dinobatkan menjadi capres setengah dewa.Pertama, popularitas Jokowi tak terkalahkan oleh bakal calon Presiden manapun. Bahkan jauh diatas Aburizal Bakrie yang telah ditetapkan oleh Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar sejak 12 Juli 2012. Namun Ical sampai saat ini, berdasarkan survey Cyrus Network masih terseok-seok dengan elektabilitas 9,7% alias satu digit. Hal yang sama juga terjadi di Megawati yang hanya bisa meraih 6% elektabilitas. Sedangkan Prabowo, pesaing terdekat Jokowi terpaut jauh dengan 11%, setengah dari angka Jokowi yang mencapai 36,5%. [caption id="attachment_196" align="aligncenter" width="720" caption="Perbandingan antara Popularitas, like-abilitas dan elektabilitas beberapa bakal calon presiden"] [/caption] Kedua, Jokowi tidak memerlukan partai, apapun partai politik bahkan partai gurem sekalipun bisa jadi pemenang apabila mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Bahkan partai gurem sekelas Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dua partai yang bisa ikut pemilu 2014 dengan "wild card" saja bisa jadi pemenang. [caption id="attachment_192" align="aligncenter" width="477" caption="Perbadingan jika Jokowi di Capreskan oleh PKPI. Sumber Grafis : Cyrus Network"] [/caption] [caption id="attachment_193" align="aligncenter" width="478" caption="Perbandingan jika Jokowi di Capreskan oleh PBB. Sumber Grafis : Cyrus Network"] [/caption] Kedua, kebijakan apapun yang dibilang baik oleh Jokowi akan diterima publik sebagai kebijakan yang baik, vise versa. Misalnya pada kasus mobil murah Low Cost Green Card yang diusung oleh pemerintah pusat saja tidak bisa berjalan mulus karena Jokowi menentang kebijakan tersebut. Begitu pula dengan proyek pembangunan 6 ruas jalan non-tol di Jakarta yang bisa dibuat buntu oleh Jokowi padahal sudah ditenderkan dan dibiayai oleh pemerintah pusat. [caption id="attachment_191" align="alignnone" width="722" caption=" Dukungan kebijakan mobil murah pemerintah pusat mendapat perimbangan pro dan kontra, tanpa memasukkan pendapat Jokowi. Sumber Grafis : Cyrus Network"][/caption] [caption id="attachment_190" align="alignnone" width="722" caption="Jokowi dinilai benar dalam sikapnya soal mobil murah. Sumber Grafis : Cyrus Network"][/caption] Dan temuan aktual tentang hal ini adalah soal kemacetan. Menurut hasil survei Cyrus Network, hampir sebagian masyarakat DKI Jakarta menilai kemacetan adalah tanggungjawab Gubernur. Namun ada lebih 10% responden menilai sebagai tanggungjawab Presiden. Temuan ini menarik, sebab dalam berbagai survei menjelang Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, hampir mayoritas warga DKI Jakarta menilai kemacetan sebagai tanggungjawab Gubernur, yang saat itu dijabat Fauzi Bowo dan tidak pernah "menyalahkan" Presiden. [caption id="attachment_195" align="alignnone" width="479" caption="Soal banjir dan kemacetan di Jakarta, lebih dari 10% responden menilai sebagai tanggungjawab Presiden"][/caption] Ketiga, walaupun survey Cyrus ini lebih diniatkan sebagai "teguran" pada perilaku tidak rasional pemilih di Indonesia ternyata malah menghasilkan berita positif. Tercatat tak kurang dari 85 pemberitaan baik media online maupun cetak mengutip hasil survey Cyrus Network. Sebagian besar pemberitaan tersebut bernuansa positif. Puncaknya adalah saat tempo memuat tanggapan Jokowi terhadap hasil survey tersebut. Sebuah tanggapan yang benar-benar bernada positif. Padahal menurut Eko David Dafianto, Direktur Riset Cyrus Network bukan menasbihkan predikat manusia setengah dewa pada Jokowi. Namun justru sebaliknya. Hasil survey tersebut menunjukkan publik sudah tidak rasional dalam menilai Jokowi. "Fenomena setengah dewa ini tidak bagus untuk demokrasi. Publik sudah kehilangan rasionalitas dan merasa apapun yang melekat dan dilakukan Jokowi adalah benar," jelas saat dihubungi dengan telepon penulis, Senin (16/12/2013). Menurut Eko, fenomena ini justru harus menyadarkan publik agar menilai pemimpin sesuai dengan porsinya.  "Harusnya, kita mencarikan Jokowi lawan tanding yang sepadan yang tentunya bukan nama-nama lama yang beredar saat ini" lanjutnya. Posisi Jokowi yang tak ada lawan ini menurut Eko karena Jokowi satu-satunya capres yang bisa dibilang, capres baru. Ibaratnya, Jokowi adalah lauk segar baru masak melawan calon presiden hasil lauk basian yang dihangatkan kembali. "beberapa nama lain kan  nama-nama lama," pungkas Eko. Leboh lanjut tentang Survei Nasional Cyrus dapat diintip di sini. Perlunya mencari lawan yang setimpal untuk Jokowi juga dilontarkan oleh Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk. Menurutnya, fenomena ketidakrasionalan pemilih ini sudah mulai mengarah ke messianistik atau fenomena Ratu Adil. "Sekarang saya khawatir dengan fenomena ratu adil. Sepertinya Jokowi jadi manusia setengah dewa. Ini capres setengah dewa tidak sehat jangan terjebak dengan mitos ratu adil," kata Pakar Psikologi Politik UI Hamdi Muluk di kantor Cyrus Network, Jakarta, Minggu (15/12/2013).

*****

Lebih lanjut Hamdi Muluk juga menenggarai adanya gejala Group Think dengan skala nasional. Group Think adalah fenomena dalam studi psikologi dan komunikasi politik, yang singkatnya adalah keadaan dimana sekelompok orang mempunyai pemikiran dan persepsi yang seragam dan apabila ada yang mengkritik akan menjadi musuh bersama.

Pada dasarnya Groupthink adalah fenomena sekelompok orang mempengaruhi kelompok yang lebih besar dengan melakukan aksi-aksi yang tidak masuk akal dan tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang bertentangan diluar kelompok. Sindrom groupthink hampir senada dengan mentalitas "korsa"  atau "spirit of the corps". Sindrome ini terasa sangat vulgar dipertontonkan oleh dokter-dokter yang mogok nasional karena putusan kasasi malpraktek Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu. Padahal pada pada akhirnya Majelis Disiplin Dokter menetapkan sebaliknya.

Dalam politik fenomena Groupthink terlihat saat keputusan AS menyerang Irak pada tahun 2003. Walau banyak ditentang oleh negara lain dan bahkan sebagian warganya, AS tetap menyerang Irak. Keputusan ini pada akhirnya terbukti salah, sebab sampai pasukan AS ditarik dari Irak pada 2010 lalu, tidak ada satu senjata pemusnah massal, dalih AS menyerang Irak, ditemukan walau hanya sebuah. Ironisnya, keputusan AS menyerang Irak telah dilaksanakan. Saat itu media massa ikut membentuk pandangan masyarakat dengan memberitakan alasan-alasan yang membolehkan serangan tersebut. Dan akhirnya terungkap adanya sindrome groupthink dalam tubuh jajaran elit pemerintahan Presiden George W. Bush. Tidak pernah ada yang menyalahkan pihak penggagas serangan tersebut.

Pendapat Prof Hamdi Muluk ini menjadi terobosan dalam menjelaskan mengapa Jokowi begitu perkasa dengan merajai berbagai survey politik belakangan ini. Sebab mengetengahkan penjelasan group think belum pernah terjadi dalam skala nasional. Groupthink boleh jadi muncul juga dalam komunikasi kelompok di kalangan elite politik kita, hanya saja ciri-cirinya mungkin agak lain. Misalnya, apakah keputusan Megawati, Ketua PDIP dalam menentukan siapa yang akan maju dalam pemilihan presiden akan dipengaruhi oleh sindrome group think dikalangan internal partai ataukah mengikutin sentimen pemilih yang berdasarkan hasil survey.

Ini merupakan awal dari episode Jokowi Manusia Setengah Dewa dalam kancah politik nasional. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kedigdayaan Jokowi untuk melumat pesaingnya. Jokowi ibarat Perseus yang tinggal menunggu membunuh waktu untuk membunuh Kraken. Masalahnya sekarang, siapa yang menjadi Medusa, yang kepalanya menjadi senjata andalannya untuk membunuh Kraken.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun