[caption caption="Sumber Gambar: Dok. Pribadi"][/caption]Kalau Anda ditanya tentang perusahaan taksi di Jakarta yang menjadi “Top of Mind”, yaaaa…….benar…..pastilah Anda akan menjawab si burung biru alias Blue Bird. Mobilnya baru, bersih, ac dingin, aman, nyaman, supirnya sopan, professional, dan sederet sanjungan akan Anda alamatkan kepada Blue Bird.
Walaupun harganya paling mahal di antara semua taksi, kita merasa tidak keberatan membayarnya. Mengapa ? Ya karena harapan kita terhadap sebuah taksi semuanya terpenuhi.
Tapi, pernahkah Anda mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan harapan Anda ? Suatu hari saya pulang kantor, lelah setelah seharian full meeting dengan klien, cari Blue Bird, eehh dapat….”asiiiikk bisa tidur nih sepanjang jalan kira-kira 1 – 1 ½ jam”, demikian harapan saya.
Begitu masuk taksi, si supir dengan ramah menyapa : “Selamat sore pak. Mau diantar kemana ?”. “Bintaro pak sektor 1 ya”, jawab saya. Dia jawab lagi : “Baik pak, tapi mohon maaf, tolong diarahkan ya pak, saya baru 2 hari di Jakarta”.
Saya pasti akan langsung “drop” deh semangat saya disertai gerutu dalam hati : “Huuuh katanya ini taksi terbaik, kok supirnya sama sekali buta jalan, dan nyetirnya juga masih kagok. Harganya paling mahal pula”.
Bagaimana rasanya sebagai pelanggan ? Benar-benar kecewa dan melelahkan karena sepanjang jalan saya harus “siaga 1” sebagai penunjuk jalan bagi si supir taksi. Bahkan ketika saya tertidur, si supir menghentikan kendaraannya dan membangunkan saya walaupun perlahan dan sopan, tapi tetap saja membuatku kesal.
Setiap tikungan, setiap persimpangan saya harus memberi tahu arah. Bagaimana kesan dan perasaan saya sebagai pelanggan ? Sangat menyebalkan, saya sudah bayar mahal tapi saya harus mengajari dia, membantu perusahaan “develop” kompetensi supirnya.
Perusahaan taksi ini telah membebani pelanggannya dengan harga yang mahal, sementara si pelanggan tidak mendapatkan pelayanan prima, malah si pelanggan disuruh kasih training kepada karyawan barunya. Apakah ini fair ? “Sebagai trainer / facilitator, biasanya saya dibayar untuk memberikan training. Lah ini kok malah saya yang disuruh bayar hahaha”, gumam saya dalam hati.
Saya complain ke Customer Care, jawabannya sangat Standard Operating Procedures (SOP): “Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, terimakasih masukannya, telah kami catat. Akan kami perbaiki ke depannya”.
Pada hari itu saya merasa mendapatkan customer experience yang sangat buruk dari perusahaan taksi tersebut melalui tindakan eksperimen alias coba-coba terhadap pelanggannya.
Tentulah setiap orang yang baru mulai menjalani suatu profesi tidaklah dapat diharapkan bahwa ia bisa menampilkan performa di atas standar. Ia memerlukan coaching dan pengembangan kompetensi yang sering kali memerlukan biaya dalam jumlah yang cukup besar.