Sesiapapun boleh punya klub olahraga khususnya dalam hal ini sepak bola. Mulai dari konglomerasi dana kerajaan pemangku dua tanah suci yang punya klub asal Utara Inggris, hingga sebatas pemilik hektaran tambak yang timnya hanya main ketika even tarkam tujuh belasan. Begitu pun dengan institusi negara boleh saja punya klub sepak bola, lihat saja klub-klub amatir yang dulu sering bermain di kompetisi internal mantan Perserikatan, begitu sering nama PSAD dan PSAL disana.
Militer memang menjadi entitas besar dengan kepunyaan lapangan yang sudah pasti ada di tiap-tiap tangsinya. Saya pun tau hal ini gara-gara Jawa Pos yang dulu rutin meng-update klasemen kompetisi internal Persebaya. Disana ada PSAL, PSAD dan bahkan ada Indomaret. Kini di line-up terbaru peserta kompetisi ada nama Polda Jatim yang tentu kepunyaan korps coklat.
Menariknya klub milik institusi Polisi ini secara masif ditemukan di segala penjuru mata angin. Tentu di Indonesia diwakili oleh Bhayangkara FC yang lahir berkat goro-goro panjang Persebaya dengan Persikubar. Kemudian pula bersamaan dengan bergulirnya wajah baru liga Indonesia bertajuk Liga 1 muncul pula PS TNI yang mencaplok Persiram.
Meski pada akhirnya PS TNI tak mampu melanggengkang eksistensinya dan akhirnya diserap oleh Persikabo, Bhayangkara FC tetap bertahan. Bahkan mereka sempat-sempatnya juara Liga 1, sungguh luar biasa klub binaan polisi ini. Tapi seperti halnya klub baru yang apalagi tak mengusung asas kedaerahan, Bhayangkara FC tak punya akar suporter yang kuat meski di tiap kecamatan punya basis massa (baca: Polsek).
Bukan tanpa hambatan juga, Bhayangkara FC sudah beberapa kali pindah homebase sepanjang perjalanan mereka. Awalnya mereka masih berkandang di Jatim dan bernama Bhayangkara Surabaya yang kemudian diboyong ke Jakarta agar tak terasa hanya milik Polda Jatim. Tapi kini mereka kembali berpindah basis jadi ke Surakarta dan mengubah namanya jadi Bhayangkara Solo FC.
Fenomena klub yang punya ikatan dengan kepolisian juga banyak di negara lain, entah secara historis saja maupun tetap lestari hingga zaman kiwari. Tengok saja klub-klub berlabel Dynamo di bekas negara-negara blok timur, mereka berafiliasi dengan kesatuan kepolisian negara. Tapi kini hal itu cuma jadi catatan sejarah saja, contohnya Dynamo Moskow yang sekarang dipunyai oleh VTB Bank.
Punya klub olahraga memang bisa jadi sarana polisi semakin menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Lihat saja klub legendaris Jerman Timur, Berliner FC Dynamo atau BFC Dynamo yang dulu di masa sebelum keruntuhan Tembok Berlin merupakan kepanjangan cakar dari Stasi (polisi rahasia Jerman Timur). Bisa jadi berkat relasi kuatnya dengan Stasi yang beringas itulah BFC Dymano sampai sepuluh kali juara Liga Jerman Timur.
Klub yang tanpa tedeng aling-aling menamai dirinya sebagai Police FC dan variannya pun sangat banyak. Contohnya Police FC di Rwanda, Lao Police Club di Laos, dan AS Police yang berkandang di Bamako. Kementerian Keamanan Sipil Korea Utara yang membawahi kepolisian malah punya dua klub sekaligus, Amnokgang dan Rimyongsu Sports Club dan secara tradisional menyemai rivalitas dengan April 25 SC yang dipayungi oleh tentara.
Patron di Asia Tenggara
Bagaimana dengan negara-negara di asia tenggara sendiri?. Tentu nama terlintas selain Bhayangkara FC di Indonesia, ada Police Tero FC yang mashyur di Liga Thailand. Seperti PS TNI yang merger dengan Persikabo, Police Tero FC adalah hasil merger dari BEC Tero Sasana FC kepunyaan konglomerasi hiburan Tero Entertainment dengan Police FC milik aparat Royal Thai Police di tahun 2017. Sebelum bergabung dengan Hokkaido Consadole Sapporo, dulunya Chanathip Songkrasin mengawali kebintangannya disini. Sayangnya pasca merger prestasi Police Tero FC terbilang medioker dan malah pernah degradasi di musim 2018.