Dalam metafora untuk menggambarkan kemenangan suatu tim para jurnalis biasanya punya banyak diksi. Ketika tim tamu bermain imbang sering dipakai diksi ‘sukses menahan tuan rumah’ atau juga ‘mencuri poin’. Tapi berbeda jika memakai sudut pandang tim yang main kandang, ada yang memakai ‘gagal mengamankan poin sempurna’ hingga ‘harus puas berbagi poin’.
Pun ketika ada skor telak yang tertera. Diksi-diksi yahud macam dilindas, melibas, meghancurkan, menundukkan, hingga yang paling sadis bisa memilih ‘mengajari main bola’. Pokoknya berbau hiperbola demi menunjukkan betapa perkasanya tim yang menang atas lawannya.
Ketika kemarin Timnas Perempuan Australia sukses mengalahkan pasukan Garuda Pertiwi, saya kehilangan diksi untuk menggambarkan kedigdayaan mereka. Tanpa sedikit pun mengendurkan kewaspadaannya, Samantha Kerr dan kompatriot mampu 18 kali membuat penjaga gawang kita memungut bola. Masing-masing sembilan kali untuk Fani dan Nurhalimah yang berganti di turun minum.
Sam Kerr si pemain Chelsea yang menduduki peringkat dua dalam ajang The Best FIFA kemarin itu bahkan bikin lima gol sendiri. kemudian Emily van Egmond juga cetak hattrick, jadi dalam satu pertandingan panpel sudah harus merelakan dua bolanya dibawa pulang untuk suvenir. Indonesia bagaimana?, hanya ada satu tembakan tepat mengarah gawang berkat lesakan Zahra Muzdalifah.
Tanda sudah jelas bahwa kualitas timnas kita (putra maupun putri) masih tak ada apa-apanya dibanding saudara di selatan itu. Tapi ini bukanlah akhir bagi timnas putri, mereka masih punya kesempatan, hanya dengan cara mengalahkan Thailand dan Filipina. Harusnya sebagai serumpun asia tenggara tak ada perbedaan fisik berarti antar ketiganya, meskipun rangking mereka (tentu) di atas Indonesia.
Momen lolosnya Indonesia ke ajang AFC Women’s Cup memang bisa dibilang ketiban berkah. Musyababnya tentu mundurnya Korea Utara (rangking 1 asia) dan Iraq (segrup di kualifikasi) memudahkan langkah Indonesia ke India. Suatu yang bisa dikata blessing in disguise bagi persepakbolaan perempuan Indonesia.
Ketidakbecusan PSSI
Banyak yang mewajarkan kekalahan telak kemarin sebab beda kualitas antara pemain kita dengan Australia. Ditambah opini bahwa mereka banyak diperkuat pemain-pemain yang sudah merumput di liga top eropa hingga masih vakumnya kompetisi domestik di Indonesia. Tapi bagi saya tak ada pemakluman yang patut dibenarkan bagi kekalahan kemarin.
Australia memang tim kuat memang benar dan Indonesia baru main lagi di AFC setelah puluhan tahun. Tapi bukan berarti Indonesia memang wajar berada di level bobol 18 kali dalam 2x45 menit. Ini tak lain dari kenyataan yang tak terbantahkan busuknya PSSI mengelola persepakbolaan Indonesia, khususnya untuk kaum hawa.
Adalah omong kosong sepak bola perempuan Indonesia baru dirintis kemarin sore saja menyusul bergulirnya Liga 1 Putri. Tapi jauh sebelum itu, ketika timnas putra Indonesia banyak dilabeli sedang dalam masa keemasannya di 1980an, sesungguhnya geliat sepak bola perempuan juga sedang moncer.