Baru-baru ini adaptasi animasi One Piece baru saja merayakan perilisan episode ke-1000nya. Sejak dimulai dari penayangan perdananya di tahun 1999 jelas lebih banyak urusan sentimentilnya dibanding isi episode 1000 itu sendiri. Secara jalannya cerita episode 1000 tidak spesial-spesial amat, Kaido masih belum kalah dan pemerintahan dunia masih langgeng. Memang bagi para nakama, ini semua tentang milestone.
Apresiasi tak lain harus ditujukan kepada Eiichiro Oda sendiri sebagai sang empunya One Piece. Dedikasi 20+ tahun jelas bukan omong kosong dan kemampuannya masih belum menumpul untuk menopang beban 1000+ chapter manga yang masih bertumbuh. Tapi ada satu sisi yang bagi saya membuat Oda-sensei istimewa dalam racikannya, selalu mengajak pembacanya menjadi anak kecil.
Masa paling indah sepanjang hidup manusia tentulah masa kanak-kanak. Tak ada beban hidup, tekanan dari lingkungan sosial, dan tertawa riang setiap saat. Sepertinya premis ini menopang keseluruhan sendi humor di One Piece. Lihat saja Luffy yang hingga kini seperti remaja belum puber yang hanya memikirkan caranya menjadi raja bajak laut sekaligus bersenang-senang dengan para nakama.
Dia baru risau ketika ada rekannya yang diusik atau diremehkan. Menjadi hero bukanlah obsesinya, baginya pahlawan adalah orang yang mau berbagi daging dengan orang lain, sedangkan dirinya tak mau berbagi daging dengan siapapun. Sungguh pikiran polos anak kecil yang tak mau berbagi barang kesukaannya.
Hal yang sama hampir diterapkan Oda di semua karakter di One Piece. Seperti Usopp yang gemar berbohong demi kelihatan kuat hingga sekelas Aokiji yang bisa tertidur sambil berdiri.Â
Mungkin beberapa karakter super serius macam Rob Lucci bisa terselamatkan dari ide kekanakan Oda-sensei. Saya membayangkan Oda-sensei yang sekarang sudah paruh baya masih mempertahankan imajinasi kanak-kanaknya dan One Piece tak lain adalah sarananya mengkhayal.
Kemudian kita mencermati bahwa tak ada pihak antagonis yang kalah karena bertaubat setelah mendengar khotbah inspiratif Luffy. Semua ia hajar, mulai dari perwira Marine macam Kapten Morgan, antek pemerintah seperti Gecko Moria, sampai Usopp ketika menentang keputusannya untuk mempensiunkan Going Merry.
Apakah itu tak terlalu kasar mengingat tak semua permasalahan harus diselesaikan dengan baku hantam?. Sayangnya itu pikiran kita saja ketika semakin menua. Anak kecil dari lipatan bumi mana yang suka diceramai atau bernegosiasi ketika mainannya dirusakkan temannya. Ya, tak semua permasalahan harus diselesaikan dengan diplomasi dan khotbah.
Tapi di sisi lain Oda-sensei menunjukkan hal kekanakan lainnya. Dimana anak-anak akan gampang berkelahi tapi juga dengan mudahnya akan kembali berteman. Skil merubah lawan menjadi kawan adalah keistimewaan Luffy yang diamini Mihawk Si Mata Elang.Â
Mana mungkin Hatchan yang babak belur di Arlong Park malah sekarang menjadi salah satu nakama Mugiwara jika berlogika seperti anak-anak. Juga dulu Zoro menebasnya dengan pedang, bukan kata-kata yang menyayat kalbu.
Hal lain yang begitu kentara merupakan imajinasi anak-anak Oda-sensei adalah desain karakter. Sudah sangat sering kita menemui karakter yang digadang-gadang gagah dan sangar malah punya sisi lawak. Lihat saja karakter Kurozumi Orochi yang awalnya digambarkan mengerikan dan bengis, malah punya perawakan mirip karakter di manga-manga gag. Saya malah teringat Tensai Bakabon gara-gara penampilan Orochi.
Penuangan imajinasi kekanakan Oda-sensei sepertinya makin liar di Arc Wanokuni ini. Tak lain adalah penampilan para pemakan SMILE yang malah konyol. Beda dengan Marco atau Rob Lucci yang pemakan Zoan asli, para anak buah Kaido pemakan SMILE justru seperti manusia yang hanya ditempeli bagian hewan buas.
Tak lupa kemampuan Sasaki yang memakan zoan tipe Triceratops. Sebagai dinosaurus yang punya struktur tulang yang khas di belakang kepala, Oda-sensei menjadikannya bisa berfungsi sebagai baling-baling. Ya, mungkin dulu dia ketika pertama kali melihat gambar Triceratops berkhayal kalau bagian itu bisa berputar layaknya baling-baling.
Terbaru adalah reveal dari kekuatan Queen dan King, dua anak buah terkuat Kaido. Sebagai zoan tipe Brachiosaurus, dinosaurus berleher panjang dan telah memodifikasi tubuhnya dengan berbagai senjata justru punya teknik menyerang yang mindblowing.Â
Ternyata Queen dalam bentuk full zoannya mampu melepas bagian leher sampai ekornya dari badan dan menjadi makhluk mirip ular serta mampu melilit seperti ular phyton.
Kekuatan King pun tak kalah bikin tercengang. Sebagai jelmaan Pteranodon dan seluruh tubuhnya berbalut warna hitam, tentu pembawaan King jauh lebih serius dibanding Queen yang tukang karaoke.Â
Namun kesan serius itu seketika hilang ketika King menggunakan kekuatan buah zoannya untuk menyerang Zoro. Kita bisa melihat King menggukan kepalanya seperti ketapel sembari bilang, beginilah cara Pteranodon memburu mangsanya pada zaman dahulu kala.
Hanyalah anak kecil yang mengira Triceratops punya baling-baling, Brachiosaurus melepas badannya, hingga Pteranodon yang berburu dengan berlagak seperti ketapel. Tapi itulah cerita One Piece yang kita cintai. Cerita yang sebenarnya berinti berat tapi ringan dibaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H