Bulan ini adalah waktu yag telah ditunggu. Olimpiade musim panas di Tokyo akan dibuka yang seharusnya dilaksakan tahun lalu. Iniliah gelaran paling kolosal pertama yang akan digelar setalah mewabahnya Covid-19 sejak akhir tahun 2019.Â
Tentu saja semua atlet menunggu sambil harap cemas sepanjang 2020. Â Sampai nanti begitu gong pembukaan dipukul Kaisar Naruhito, masih ada kans perhelatan Olimpiade ditunda atau bahkan dibatalkan.
Bagi Indonesia yang hanya berada di jajaran medioker klasemen perolehan emas, even Olimpiade juga sebagai ajang pembuktian supremasi cabor bulutangkis yang sampai sekarang andalan untuk mencuri medali.
Sejak pertama kali resmi diperlombakan di Barcelona 1992, bulutangkis memang selalu menjadi tumpuan bagi kontingen indonesia. Pernah sekali waktu delegasi bulutangkis Indonesia gagal total pada Olimpiade 2012, gonjang-ganjing terjadi setetika itu. Kali ini di helatan Tokyo Indonesia mengirim 11 atlet bulutangkis dari total 28 atlet dalam koningen.
Sudah sangat lama sekali kita tak melihat nama-nama beken pebulutangkis kita bertanding di level teratas. Terakhir usaha keikutsertaan Indoensia di ajang All-England malah berakhir mengecewakan setelah semua kontingen Indonesia tak diijinkan bertanding oleh otoritas kesehatan setempat akibat satu pesawat dengan seorang penderita covid-19. Selama pandemi kita paling sering hanya disuguhi rangkaian uji tanding internal antar atlet di pelatnas. Jelas gengsi dan level persaingannya tak sebesar turnamen internasional.
Pembuktian The Minions
Bagi pasangan ini, terutam Kevin Sanjaya lapangan pertadingan adalah medan perang dan buka tempat bagi berbaik hati. Kesopansantunan bisa nomor sekiankan apabila tensi pertandingan sudah panas dan permainan lawan malah kacau sebab provokasinya. Mereka seolah mau bilang kalau atlet tak harus menjadi good boy selama level permainan sudah kelas atas dan rutin mencapai podium tertinggi.
Namun agak disayangkan momen kebangkita mereka justru  di masa antar Olimpiade. Nama mereka baru menguasai ranking ganda puntra di medio 2018. Sangat dikhawatirkan kedua telah melewati titik klimaksnya yang terbukti dari berkali-kalinya kalah oleh pasangan yang sama, Endo-Watanabe asal Jepang. Para lawannya sudah menemukan metode-metode membungkam The Minions.Â
Tak ada cara lain selain merebut medali emas Olimpiade jika mereka masih mau bertanding seperti ciri khasnya selama ini. Tengil, gesit, dan lincah.
Veteran belum habis
Simultan setelah kebangkitan ganda putra lewat duo minion, pasangan bapak-bapak yang sudah lama melintangi dunia bulutangkis seolah seperti burung phoenix yang bangkit dari abu. Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan membuktikan kalau frasa old but gold itu benar adanya. Bertanding dengan lebih banyak memakai pendekatan taktikal dibanding asal gebuk membuat periode kedua bagi mereka ini kembali bertabur medali, termasuk All-England, BWF Finals dan kejuaraan dunia 2019.
Hendra yang pernah meraih emas di Beijing 2008 merasa level Ahsan sudah sepantasnya meraih emas pertamanya. Meskipun ditundanya Olimpiade membuat banyak pihak meragukan momentum dari mereka berdua yang umurnya sudah diatas kepala tiga, bahkan Hendra sudah menginjak angka 36. Sangat patut diikuti bagaimana para veteran menghadapi tenaga muda dengan mengandalkan pengalaman dan kematangan taktikal.
Tiongkok mengintip
Jika anda sekarang mulai kesulitan menyebutkan nama-nama atlet bulutangkis Tiongkok, sudah sangat wajar apalagi mereka sejak awal pandemi tak pernah sekalipn keluar kandang. Mereka menarik diri dari semua even BWF dan lebih memilih menggulirkan sendri kompetisi internalnya bertajuk China Badminton Super League/CBSL.Â