Magis Magical Magyars yang tak terulang, Johann Cruyff dan hagemoni total football, Maradona sang juara bertahan, generasi emas pertama Belgia, generasi emas Republik Ceko, sampai pekikan football coming home dan tarian selebrasi Brazil mereka semua disatukan oleh entitas bernama Timnas Jerman. Boleh lah bila Jerman didapuk sebagai tim paling spesialis perusak pesta selain julukannya spesialis turmanen. Mereka bertanggung jawab pada beberapa what if terbesar dalam jagat sepak bola.
Banyak anekdot yang menyatakan orang-orang Jerman itu hidupnya sudah seperti robot. Semua sudah diatur dan harus berjalan sesuai sirkuitnya. Karena stereotip itu banyak yang kemudian mencap orang Jerman payah dalam membuat lelucon. Mungkin hal ini bisa benar adanya berkali-kali melihat keengganan mereka larut dalam pesta yang sedang memukau mayoritas penikmat sepak bola.
Pada masa itu dan hingga sekarang, Magical Magyars atau Golden Team milik Hungaria adalah representasi tertinggi sepak bola. Permainan indah, kemenangan adalah santapan sehari-hari, revolusi taktik, hingga disokong nama-nama yang sampai sekarang juga masih diasosiasikan dengan kesuksesan macam Ferenc Puskas, Zalton Czibor dan Sandor Kocsis.Â
Timnas Hungaria sampai saat ini mencatatkan diri sebagai tim dengan elo rating tertinggi yang pernah dicapai tim nasional. Sangat mudah pada masa pertengahan abad 20 untuk menyebut Hungaria sebagai tim terbaik.
Datang di Piala Dunia 1954 Swiss dengan bekal raihan emas Olimpiade 1952 jelas menempatkan Hungaria sebagai unggulan. Sepuluh hari sebelumnya Hungaria malah menggilas Inggris 7-1 pada helatan laga uji coba. Pada fase grup mereka melumat Jerman 8-3 dan Korsel 9-0, semakin jemawa setelah memulangkan Brazil di perempat final pada laga yang disebut Battle of Berne yang memaksa wasit mengangkat tiga kartu merah.Â
Uruguay yang berstatus juara bertahan dipaksa mengepak koper di semi final setelah kalah lewat skema perpanjangan waktu. Total 27 gol dengan rerata 5,4 gol per laga adalah rekor piala dunia sampai sekarang. Kocsis mengemas 11 gol termasuk quattrick ketika melawan Jerman.
Seolah tinggal menunggu waktu saja bagi khalayak untuk melihat Nandor Hidegkuti dan rekan-rekannya mengangkat piala di Wankdorf Stadium. Tempat mereka sebelumnya menyingkirkan Brazil, memori manis Battle of Berne beberapa hari sebelumnya siap kembali dikumandangkan. Pada laga tanpa Puskas mereka bisa menang, bukan hal mustahil menekuk Jerman apalagi Puskas dipastikan akan bermain di final. Meski mereka diterjang kelelahan sebab laga melawan Uruguay yang molor sampai perpanjangan waktu.
Unggul cepat via gol kapten Puskas dan Czibor bahkan sebelum laga genap 10 menit. Jerman langsung bisa menyamakan kedudukan lewat Morlock dan Rahn sebelum babak pertama usai. Rahn akhirnya membawa Jerman unggul di penghujung babak kedua, usaha Puskas menyamakan kedudukan dianulir asisten wasit yang menjatuhkan vonis offside pada golnya. Jerman menyudahi catatan tak terkalahkan Hungaria selama empat tahun.
Fritz Walter yang kemudian namanya abadi sebagai stadion kandang FC Kaiserlautern lah yang mengorkestrasi kejatuhan Hungaria. Dalam kondisi hujan deras yang kemudian disebut Fritz-Walter Weather, umpan-umpan manisnya dari sisi flank memungkinkan barisan penyerang, Morlock dan Rahn menuntaskannya menjadi gol.Â
Seusai laga, bukan hanya pesta publik Hungaria yang berhenti, namun berubah menjadi gelombang protes besar-besaran. Tak hanya kepada federasi sepak bola, juga kepada rezim komunis yang sedang berkuasa. Nantinya geloban protes ini semakin membesar menjadi Revolusi 1956, awal menukiknya prestasi Hungaria.