Gelaran UEFA Euro 2020 di 2021 sudah tinggal menabuh genderang saja. Kompetisi antar negara yang diayomi UEFA ini akhirnya digelar setelah molor setahun akibat pandemi global, seperti halnya gelaran Olimpiade Tokyo dan Copa America. Bisa dibilang Euro mempunyai daya tarik yang besar sebab menterengnya negara-negara yang berlaga. Mayoritas penggila bola tentu tak mau melewatkan Jerman dan Prancis saling tikam atau Inggris yang berusaha menuntaskan dendamnya pada Kroasia.
Namun meski punya nama besar, Euro hanyalah gelaran kasta kedua di dunia maupun di eropa. Sebagai kompetisi antar negara, sudah tentu takhta Piala Dunia tak akan tergeser sampai kapan pun. Pentas akbar antar kesebelasan terbaik selalu menjadi suguhan paling dinanti tiap empat tahunnya.Â
Kompetisi bentukan Jules Rimet ini menjelma sebagai regulator tunggal menentukan negara terbaik dalam urusan bermain sepak bola. Bagi kita warga negara Indonesia, membayangkan tim nasional berlaga di Piala Dunia saja sudah seperti impian utopis. Mustahil bagi Euro menggeser prestise Piala Dunia dengan cara apapun.
Michel Platini, mantan pesepakbola Prancis sekaligus mantan presiden UEFA membuat terobosan dengan menggelar Euro dengan format tak konservatif. Platini mengetok palu pada 2012 bahwa gelaran EURO 2020 akan dilaksanakan di segenap benua eropa dalam rangka perayaan 60 tahun berjalannya turnamen.
Hal yang banyak dicibir sebab ada desas-desus UEFA menghindari Turki sebagai satu-satunya negara yang serius mengajukan diri sebagai host. Pada 2014 berbagai negara mengajukan stadion-stadion terbaiknya untuk host, termasuk Irlandia yang mengajukan Aviva Stadium di Dublin dan Israel yang menjagokan Teddy Stadium di Tel-Aviv. Total 13 stadion dipilih oleh UEFA sekaligus menetapkan Wembley sebagai venue final.
Sebelumnya UEFA sudah melakukan pengubahan tentang jumlah tim yang berlaga dari 16 pada awalnya menjadi 24. Keputusan sudah ditetapkan sejak 2008, efektif pada 2016 dan lagi-lagi oleh Platini. Keputusan ini berakibat dibutuhkannya venue pertandingan yang lebih banyak dan lebih mudahnya negara dengan sepak bola kelas 'menengah' untuk lolos puara final.Â
Hasilnya negara macam Albania, Islandia, Irlandia Utara, Slovakia dan Wales melakukan debut pada 2016 meski ada juga negara tradisional seperti Belanda yang absen. Tapi ditambahnya peserta menimbulkan efek tak idealnya kualifikasi untuk lolos babak gugur, sebab adanya skema peringkat tiga terbaik. Skema peringkat tiga terbaik rawan 'diperjualbelikan' sebab adanya pengaruh besar dari pertandingan di grup lain.
Dua terobosan era Platini itu mendapati tembok besar akibat pandemi global 2020. Terlanjur tersebarnya penyelenggaraan di berbagai negara membuat koordinasi kompetisi susah dilalukan.Â
Setiap negara mempunyai kondisi berbeda atas penanganan pandeminya dan tim yang harus pindah-pindah negara bisa mempermudah terpapar virus. Di tengah kondisi tak stabil akhirnya Dublin dan Bilbao diganti Sevilla oleh UEFA sebab gagal memberi jaminan pada penonton, meski drawing awalnya dilakukan di Dublin dan dewan kota Bilbao mengkritik keras keputusan UEFA.
Platini sendiri sudah tak tergabung dengan UEFA sejak 2015 lalu. Platini bersama Sepp Blatter dan beberapa nama lain ditangkap perihal korupsi suap atas proses pencalonan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Padahal nama Platini sempat mencuat untuk menggeser Blatter pada kongres FIFA selanjutnya. Nama Michel Platini pun diblokir dari segala aktivitas sepak bola sampai tahun 2023.Â
Malang nasib peraih 3 Ballon d'Or tersebut, pada 2019 dirinya kembali diciduk kali ini oleh lembaga anti rasuah Prancis, terkait proses pencalonan Qatar sebagai host Piala Dunia 2022 bersama mantan presiden Nicolas Sarkozy. Namanya seketika berubah dari dipuja bak raja publik Prancis menjadi pesakitan kasus suap yang dibenci sesantereo penggila sepak bola.