Itulah sejarah singkat aku bertemu dengan dia. Setelah itu kami berbincang tentang apa saja. Mulai dari teman sebayanya tak kurang ajar bahasanya kepada orang tua, adik laki-lakinya yang ketahuan membeli konsol gim dengan uang tabungannya, pengalamannya menampar lelaki hidung belang yang menodai sahabatnya, hingga larut pun menjemput. Lampu taman sudah menggantikan temaram senja, penjual asongan berganti oleh anak-anak pengamen, dan jajaran penjual bunga di atas got sudah disulap jadi kios angkringan yang berjejer sepanjang pagar taman kota.
**
      Setelah itu aku terus bertemu dengan dia, di bangku taman kota yang menghadap barat. Dia pun selalu datang ketika ufuk sudah bersimbah senja. Tak perduli hujan dia selalu datang membawa ceritanya. Membawa kehangatan bagiku. Orang yang terbuang dari dunia.
      Hanya di saat itulah aku merasa sebagai manusia. Manusai yang haus akan kehangatan kasih sayang. Sudah kuanggap dia sebagai pelarianku atas semuanya. Kami semakin dekat, tempat berbincang kami tak melulu di bangku taman kota, tekadang kami berjalan-jalan ke hutan raya di pinggiran kota. Oh, betapa bahagianya aku waktu itu.
      "Tau nggak, selama ini kita sering jalan bareng tapi ada satu yang aku belum tau tentang dirimu". Aku memulai percakapan di sore cerah yang tak kalah biasa dari hari-hari biasanya.
      "Apa?". Dia bertanya balik sambil mengunyah batagor yang dibungkus plastik bening yang kubelikan dari mamang di pinggir jalan depan taman kota.
      "Sampai saat ini kita belum pernah berkenalan".
      "Oh". Jawabnya pendek
      "Kok O doang sih?".
      "Emang kenapa?, aku tak pernah permasalahin itu, dan selama ini juga berjalan biasa aja meski sampai sekarang aku gak tau namamu siapa dan kamu pun gak tau namaku siapa". Jawabnya diplomatis seraya membuang bekas bungkus batagor tadi sembarang saja ke sudut taman kota.
      "Oke lah kalo gitu". Yasudah, kami berjalan kembali.