Mohon tunggu...
Reza Febrian Fajar R.
Reza Febrian Fajar R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Makroprudensial Pasca Pandemi: Strategi untuk Menjaga Stabilitas dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

17 November 2024   22:12 Diperbarui: 17 November 2024   22:21 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandemi COVID-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian global, tidak terkecuali Indonesia. Namun, sejak 2021 hingga 2024, kebijakan makroprudensial yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menunjukkan keseriusan dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Fokus kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mempersiapkan masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kebijakan Makroprudensial sebagai Pilar Pemulihan Ekonomi

Pemerintah dan otoritas keuangan Indonesia melalui BI dan KSSK telah merancang kebijakan makroprudensial yang sangat akomodatif, terutama dalam menghadapi ketidakpastian global pasca-pandemi. Sejak 2021, berbagai langkah strategis telah diambil untuk mendukung stabilitas ekonomi dan sistem keuangan, seperti penurunan suku bunga, pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV), serta pemberian insentif makroprudensial untuk memperkuat likuiditas dan intermediasi perbankan.

Pada tahun 2021, BI mengambil langkah besar dengan menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak enam kali, yang pada gilirannya menurunkan biaya pinjaman dan memudahkan sektor riil untuk mendapatkan pembiayaan. Kebijakan pelonggaran likuiditas melalui quantitative easing juga menjadi salah satu instrumen utama untuk menjaga arus kas tetap berjalan dalam perekonomian yang lesu akibat pandemi. Selain itu, kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) yang lebih longgar bagi bank yang memiliki eksposur terhadap UMKM dan sektor prioritas lainnya menciptakan ruang bagi lembaga keuangan untuk menyalurkan kredit lebih banyak, yang pada gilirannya mendorong konsumsi domestik dan investasi.

Lebih jauh lagi, kebijakan yang mendukung digitalisasi sistem pembayaran menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi. Bank Indonesia berkomitmen untuk memperkuat ekosistem pembayaran digital melalui penerapan Standar Nasional Open API (SNAP), yang tidak hanya meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor perbankan dan fintech, tetapi juga mempercepat integrasi ekonomi digital Indonesia. Dengan meningkatnya penggunaan transaksi non-tunai, seperti uang elektronik dan sistem pembayaran QRIS, Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk meraih perekonomian yang lebih inklusif, terhubung, dan berkelanjutan.

Tantangan Eksternal dan Pengaruhnya terhadap Kebijakan Makroprudensial

Tantangan eksternal, seperti ketegangan geopolitik, inflasi global, dan ketidakpastian pasar finansial, terus mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2022, dampak dari konflik Ukraina dan meningkatnya inflasi global memberi tekanan terhadap perekonomian global, berpotensi memicu stagflasi dan resesi. Namun, BI dan KSSK tetap optimis terhadap prospek perekonomian domestik yang didorong oleh konsumsi, investasi, dan ekspor. Pertumbuhan kredit yang diproyeksikan berkisar antara 9%-11% mencerminkan pemulihan ekonomi yang solid, meskipun tetap menghadapi tantangan dari luar negeri.

Kebijakan makroprudensial yang akomodatif tetap diterapkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Capital Conservation Buffer (CCyB) yang dipertahankan di level 0% sejak 2021, merupakan salah satu langkah preventif yang efektif dalam mencegah risiko sistemik. Kebijakan ini memberikan ruang bagi perbankan untuk memperluas pembiayaan tanpa mengorbankan ketahanan modal mereka, sehingga dapat menghindari risiko yang muncul akibat potensi kenaikan Non-Performing Loans (NPL) dalam kondisi ekonomi yang kurang pasti.

Inklusi Keuangan dan Ekonomi Hijau sebagai Fokus Kebijakan 2023-2024

Memasuki tahun 2023 dan 2024, BI terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang berorientasi pada inklusi keuangan dan pengembangan ekonomi hijau. Pemerintah Indonesia tidak hanya berfokus pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga menyiapkan fondasi yang lebih kuat untuk masa depan yang berkelanjutan. Pembiayaan inklusif yang mencakup UMKM, ekonomi syariah, dan sektor-sektor yang ramah lingkungan menjadi prioritas utama dalam kebijakan BI.

Kebijakan CCyB yang tetap dijaga di level 0% dan pelonggaran lebih lanjut pada LTV bertujuan untuk mendukung sektor properti dan otomotif, yang diharapkan dapat memberikan dampak positif pada konsumsi domestik dan investasi. Fokus pada ekonomi hijau, termasuk pembiayaan untuk sektor yang mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti energi terbarukan dan industri hijau, menjadi agenda yang semakin relevan di tengah perhatian global terhadap perubahan iklim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun