Kompasiana selalu menghadirkan cerita. Ia hadir dalam ekspresi para sastrawan yang rajin menulis dalam kolom fiksiana. Ia hadir dalam militansi para partisan yang rajin menulis dalam kolom opini baik itu pro atau kontra. Ia juga hadir dalam tugas mulia para guru, dosen, siswa dan mahasiswa yang menulis transformasi artikel ilmiah menjadi artikel populer disana.
Kompasiana hadir dengan semangat bhinekka tunggal ika dan keanekaragaman khas Indonesia. Ia membekali dirinya dengan 3 varian jenis akun kompasiana yang tulisanya bisa dinikmati oleh seluruh warga indonesia bahkan dunia. Dari akun biasa tanpa centang, akun centang hijau tanda verivikasi sampai akun biru tanda penulis yang tak diragukan tulisanya. Ia seolah ditakdirkan untuk menahbiskan diri sebagai media blog ujung tombak terdepan keberagaman dalam beda yang ada di Indonesia.
Sayang dibalik sederet cerita soal kompasiana dan keberagaman penghuninya, tak banyak yang tahu kompasiana turut menjadi kunci perubahan diri saya. Namun, pada akhirnya, waktu pun menunjukkan kuasanya. Dalam acara ulang tahun ke 9 kompasiana, Ia mengijinkan saya bercerita soal pengalamanku dan kompasiana.Â
Tak ada yang menyangka bahwa perkenalanku dengan kompasiana mulai tahun 2010 sebagai pembaca pasif dengan akun tuyul bisa merubah sebagian besar kisah hidup saya. Dialah kompasiana yang menampung semua genre tulisan baik pro maupun kontra. Mulai dari urusan penuh konflik SARA sampai urusan hiburan tentang fiksiana.
Saya adalah lulusan sekolah menengah magelang. Di kompasiana, awal kenal saya penuh dengan rasa rasisme yang tinggi terhadap SARA karena pengaruh lingkungan. Sebagai orang yang rasis ketika itu, Saya memang menjadi sosok yang tepat untuk menggawangi satu akun tuyul yang rese suka bikin ulah komen gak jelas pada masa lalu tanpa sekalipun membuat tulisan. Maklum, kerasisan saya makin menjadi meskipun sudah mulai masuk perguruan tinggi di semarang namun lingkaran pergaulan yang itu-itu saja membuat pandangan saya semakin sempit.
Sementara saya membuat akun tuyul kompasiana, saya juga mempunyai akun blogger pribadi. Saya kebanyakan menulis banyak tulisan intoleran ketika itu. Sesekali masuk ke kompasiana hanya meramaikan perdebatan dalam kolom komentar. Pada waktu itu kompasiana lebih sebagai sarana debat yang ramai karena kan dulu blog g sebanyak sekarang dan sampai sekarang pun gengsi kompasiana masih tinggi karena pengaruh grup gramedia.Â
Yah, syukurlah pemerintah mulai membagun BNPT dan ormas-ormas besar macam NU dan muhammadiyah mulai sadar bahaya sentimen SARA di indonesia. Hidup saya dalam hal ini kerasisan saya untuk soal SARA agak sedikit berkurang karena keluarga besar mulai peduli dan mengembalikan saya kepada realita indonesia yang beranekaragam. Dulu keluarga gak nyangka saya bisa begitu rasisnya karena disangka saya  orangnya memang pendiam dan menjaga jarak dari orang lain. Singkat kata dalam dunia nyata saya dibantu oleh keluarga saya.
Peran media utamanya kompasiana disini terlihat saat dimulainya perang opini untuk menyingkirkan paham rasisme SARA dalam tubuh kompasiana. Perlahan tapi pasti orang-orang berpikiran sempit seperti saya dulu mulai tak betah dan angkat kaki dari kompasiana. Saya perhatikan sisa-sisa mereka pun masih ada beberapa yang masih hidup di kompasiana sesekali bikin tulisan namun tidak seramai dulu tanggapanya. Pengaruhnya secara tidak langsung tulisan-tulisan itu yang kontra dengan saya dulu menjadi penyeimbang pikiran saya dari yang mulai rasis beralih kepada lebih terbuka dan bisa menerima beda. Singkat kata dalam dunia maya saya dibantu oleh penulis-penulis kompasiana yang berpikiran terbuka secara tidak langsung melalui membaca tulisan mereka. Kuncinya cover both sides or check both sides sehingga tahu ambil kesimpulan mana yang baik untuk saya.
Sejak sadar dari rasisme atau sentimen sara ke pemikiran yang lebih terbuka pada tahun 2014 itulah saya mulai meninggalkan kebiasaan buruk saya dan tidak memakai akun tuyul saya serta meninggalkan blog pribadi saya. Pada medio 2015-2016 menjadi pembaca pasif, tak ada komentar, tak ada rating. Benar-benar menghayati dan menikmati sebagai pembaca sajalah dan menandai beberapa kompasianer yang saya sukai tulisanya untuk dibaca. Kesibukan dunia nyata yang jatuh bangun dunia usaha turut mempengaruhi kemalasan menulis dan kerajinan membaca saya.Â
Saya mulai tergerak untuk mulai menulis setelah membaca soal tulisan TE yang menceritakan kebiasaan menulis satu hari satu artikel. Tentu saja saya siapkan tulisan dahulu buat direview teman yang saya anggap ahli menulis dalam dunia nyata.Â
Tulisan pertama langsung menjadi highlight dan headline ketika itu tepatnya dimulai tahun 2017 saya membuat akun asli dengan centang hijau beberapa hari kemudian. yah, yang menarik sempat terlibat diskusi dengan beberapa kompasianer didunia maya dari soal LGBT sampai soal profit dan non profit dalam dunia tulis menulis kompasiana. Jujur argumen T dan L perihal non profit sangat menarik karena mereka ingin keluarga dalam kompasiana bukan usaha namun dari lubuk hati yang terdalam saya juga ingin ikut kompetisi blog hanya untuk meramaikan saja urusan juara biarkan hak prerogatif juri kompasiana.