Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bimantoro dan Problem Berkendara "Anak Kolong" Keluarga TNI

14 Oktober 2017   13:09 Diperbarui: 15 Oktober 2017   12:55 20268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bimantoro, anak petinggi TNI yang berkelahi dengan anggota TNI. Merdeka.com

Belum reda kehebohan soal kasus penyalahgunaan kendaraan dinas TNI untuk intimiasi tukang parkir di Mall Gandaria City, Jakarta Selatan dengan melibatkan mantan dokter rumah sakit militer Anwari yang disertai penyalahgunaan senjata api. Kali ini TNI kembali menjadi bahan berita soal konflik antara Lettu Laut Satrio dan Bimantoro seorang putra pejabat TNI AL dijalan raya. Video ini menjadi viral karena melibatkan sipil dan militer yang ternyata sama-sama keluarga besar TNI AL.

Jika membaca berbagai situs berita, pemicu persoalannya hanya masalah sepele yakni sampah. Bimantoro merasa dirinya "anak kolong" atau keluarga TNI dengan berkendaraan mazda yang tergolong mewah, dia pun merasa memiliki "privilige" atau keistimewaan bebas dari beban harus membuang sampah pada tempatnya alias menepi sebentar dijalan raya lalu mencari tempat sampah.

Hanya karena sampah tersebut terbuang lewat jendela dan mengenai kepala tentara Lettu Satrio, Bimantoro memilih bertindak kasar karena merasa pangkat keluarganya lebih tinggi. Sekonyong-konyong, perwira pertama tersebut menjadi sasaran amuknya. Bimantoro mendorongnya, bahkan sempat baku hantam sebelum dipisahkan warga.

Aneh. Mungkin itu yang juga berkelebat di benak Anda menyimak fenomena ini. Seorang dari kalangan sipil memiliki keluarga TNI pangkat tinggi dengan berkendara mobil mewah, dan merasa merdeka untuk semena-mena pada prajurit TNI dengan pangkat rendah. Ironisnya terbukti kemudian bahwa Bimantoro dan Lettu Satrio keduanya sama-sama keluarga besar purnawirawan perwira dengan jabatan tinggi di TNI AL. Terbukti persepsi dan tindakan arogan Bimantoro akhirnya salah karena merasa keluarganya punya jabatan lebih tinggi dari Lettu Satrio. Untungnya peristiwa ini hanya melibatkan satu angkatan saja yaitu TNI AL, mungkin kalau beda angkatan akan sulit dicarikan solusi perdamaian.

Soal sampah, banyak peraturan menyebutkan bahwa membuang sampah sembarangan dapat dikenakan denda dan hukuman kurungan. Kenapa kemudian bisa terjadi keributan? Hal ini tidak mengherankan, sebab telah menjadi tren bahwa faktor kedekatan dan perasaan menjadi bagian "orang dalam" membuat seseorang merasa bebas apalagi yang pangkatnya lebih tinggi otomatis merasa superior terhadap mereka yang berpangkat rendah. Termasuk menggunakan kekerasan untuk membenarkan tindakan yang melanggar aturan apalagi yang protes kalangan bawah.

Soal lalu lintas, banyak peraturan menyebutkan bahwa berhenti di tengah jalan dengan sengaja mengakibatkan kemacetan tanpa alasan yang jelas seperti mogok dan kecelakaan dapat ditilang serta kalaupun ada masalah sebaiknya melaporkan ke polisi atau polisi militer bukan mlah baku hantam dijalan raya. Kenapa kemudian bisa terjadi keributan? Hal ini tidak mengherankan, sebab telah menjadi tren bahwa jikalau terjadi masalah dijalan raya harus segera diselesaikan dengan otot, masalah polisi atau polisi militer baru dipikirkan kemudian setelah puas baku hantam dijalanan atau sampai pihak berwajib datang.

Sejatinya pihak TNI dalam hal ini polisi militer dan polisi lalu lintas berkali-kali melakukan razia di banyak tempat, tak hanya di Jakarta, juga di daerah-daerah, agar tak ada masyarakat dari kalangan sipil atau militer melanggar aturan lalu lintas dan aturan lainya. Bahkan kalau lihat media resmi polisi militer dan polisi sudah total masuk ke sekolah dan mensosialisasikan call center kepada masyarakat namun sayang biasanya follower akun media pemerintah memang kalah dibandingkan seleb media. Lagi-lagi, terlepas razia itu berulang kali dilakukan, berulang kali juga kasus masyarakat dari kalangan sipil dan militer saling berkonflik.

Belum lagi karena kasus Bimantoro. Ini tentu saja sebuah persoalan serius, tak hanya membuat pihak instansi terkait terutama TNI AL bisa ikut-ikutan merasa bersalah, namun juga membuat warga biasa lainnya merasa tidak nyaman. Bayangkan karena keluarga besar TNI menjadi taruhanya sehingga kasus di kepolisian berujung perdamaian sehingga ada kemungkinan kasus ini tak berakhir ke meja hijau atau pengadilan. Catatan ini menjadi persoalan besar dalam tubuh kepolisian terutama soal damai ini kan sebenarnya proses yang menciderai hukum karena nanti bisa menimbulkan kekhawatiran bagi sipil yang tidak punya keluarga TNI.

Namun secara hukum, Indonesia memiliki regulasi terkait penggunaan materai untuk kalangan sipil dan militer yang bisa dimanfaatkan untuk proses "damai" atau tidak lanjut ke pengadilan. Terlepas ini masih menimbulkan pro dan kontra namun untuk sebagaian besar masyarakat Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan melaju ke meja hijau atau pengadilan yang sudah bukan rahasia umum menimbulkan biaya besar dari gelar perkara sampai kurungan penjara.

Di masa lalu "anak kolong" atau kini menyatu dalam berbagai organisasi keluarga besar TNI memang menakutkan bagi warga sipil. Ada banyak kasus yang melibatkan keluarga ABRI terutama putra-putrinya pada masa orde baru yang terkesan kebal hukum. Memang ada pengecualian bagi Jenderal-Jenderal yang "lurus" seperti Jenderal Hoegeng yang tanpa pandang bulu menghukum putranya kalau salah.

Sekarang kita berada pada jaman yang berbeda yaitu reformasi. Semangat reformasi mengamanatkan agar terjadi perbaikan dalam segala bidang terutama penegakan hukum. Sistem kekeluargaan yang buruk seperti feodalisme atau hubungan patron-klien atau bapak-anak yang berkonotasi negatif yang dekat dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) seharusnya dapat diberantas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun