Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulau Surga Bali itu Neraka bagi Tahanan Politik Tragedi 1965

24 September 2017   21:58 Diperbarui: 24 September 2017   22:11 1844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bali dari dulu itu surga wisata dunia kan? gak juga ijinkan saya mengutip sejarawan John Roosa reputasi ini sepenuhnya bergantung pada kebungkaman mengenai pembunuhan dan pemenjaraan massal yang berlangsung selama 1965-66. Sementara banyak orang Bali yang berusaha melupakan masa teror itu dan berbuat seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, para korban justru tidak mampu lepas dari ingatan itu. Hidup mereka hancur karena kekerasan itu, dan dalam banyak hal terus berpengaruh terhadap mereka sampai hari ini.

Berdasarkan sumber-sumber dari sudut pandang tapol agar citra Bali sebagai surga bisa bertahan, seseorang tidak boleh mengingat bahwa pulau itu pernah menjadi penjara raksasa bagi ribuan ekstapol. Orang-orang luar memuja Bali itu begitu indah, begitu ramah tamah, begitu baik hatinya. Kok waktu 65 itu ndak punya belas rasa kasih terhadap sesama? Jangankan terhadap orang lain, terhadap keluarga sendiri kok bisa berbuat seperti itu? Apa ini harus tetap dihargai sebagai pemeluk Hindu yang benar?

Lupakan slogan pulau dewata dan idiom budaya ajeg Bali kalau ingin membahas tragedi 1965 disana. Para tahanan politik merasakan perubahan kebudayaan Bali di bawah rezim Suharto. Kebudayaan Bali menjadi komoditi dan sekadar tontonan ketimbang kekuatan yang hidup dan dinamis untuk memberdayakan orang secara politik seperti dilakukan kelompoknya sebelum 1965. Saat ini, para seniman pertunjukan Bali hanya menjadi buruh dalam industri yang masif atau kumpulan buruh seni miskin yang tak berdaya. Singkat kata, mereka merasa budaya bali kehilangan nilai spiritual dan nilai adat istiadat karena kapitalisme yang dikembangkan orde baru.

Kebanyakan kaum kiri di Bali merasa bangga sebagai bagian dari Indonesia yang baru, karena di dalamnya menemukan kebebasan bagi rakyat miskin untuk maju dan kebijakan orde lama yang egaliter atau setaratanpa lihat kasta. Pemerintah baru dari negeri yang merdeka membuat berbagai peraturan yang menguntungkan orang miskin dan terpinggirkan. Pada kasus Bali, PNI dan PKI bersaing sampai pelosok desa-desa menjeaskan isi undang-undang dan saling berebut pengaruh maka maklum apabila Bali terjadi perang antara PNI dan Militer melawan PKI.

Segalanya berubah pada 1965. Militer dan polisi mulai menangkapi siapa pun yang pernah ambil bagian dalam gerakan kiri. Ada banyak orang yang ditangkap militer pada 1968, termasuk mereka yang hanya punya hubungan sedikit dengan PKI. Mereka umumnya adalah orang yang belum pernah ditangkap, atau sempat ditangkap, tapi cepat dibebaskan kembali. Tapi, saat militer melancarkan operasi pembersihan kedua pada 1968, tak seorang pun yang dianggap 'kurang penting' oleh militer. 

Saat itu pula militer menggelar operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Militer percaya PKI memiliki jaringan bawah tanah yang menyebar ke daerah serta terus berkomplot melawan pemerintah.' Pada 1968, militer bertindak sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, dan memaksa para tahanan untuk memainkan peran-peran yang mereka tetapkan. Oh ya ada banyak hotel dan tempat wisata yang dulunya jadi tempat pembunuhan massal akibat perang saudara PNI dan militer melawan PKI.

Banyak tapol eks PKI karena kondisi politik Bali kalau tidak PKI ya jadi PNI. Awal bebas tapol yang selamat kesulitan menempuh hidup yang normal. Militer melarangnya keluar dari kecamatan tanpa izin, dan izin semacam itu sangat sulit diperoleh. Mereka terus diawasi oleh Babinsa (Bintara Pembina Desa), kepala desa, dan penduduk desa yang menderita PKI-fobia. Bali, dalam pengalaman tapol selama 1980an dan 1990an, adalah sebuah penjara besar. Mereka terkena wajib lapor tiap minggu selama belasan tahun, tidak boleh meninggalkan kecamatan tempat tinggalnya, terus-menerus diawasi, dan berulangkali dipanggil ke kantor polisi.

Sejak orde reformasi perlahan tapi pasti rekonsiliasi mulai terjadi dengan pencabutan status eks tapol namun tetap ada sesuatu yang mengganjal. Mereka yang dulu terlibat pembunuhan tidak pernah mengaku dan tidak pernah meminta maaf kepada para korban. Di Bali sendiri, di balik segala keselarasan dan keindahan, ada ketegangan yang tersembunyi. Kesenjangan yang terjadi antara para pendatang yang membeli aset-aset ekonomi dan membuat para penduduk pribami tersingkir ke pelosok desa harus segera dicarikan jalan keluarnya. Budaya barat yang perlahan tapi pasti membuat masyarakat  adat menjadi kapitalis pun harus segera dijadikan prioritas  agar  luka lama itu tak muncul kembali. Jangan biarkan sejarah kembali terulang dengan peristiwa yang buruk  karena  bagaimanapun bali penting untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun