Ketika Guberbur Tjahaja Basuki Purnama alias Ahok berpidato dihadapan warga masyarakat Kepulauan Seribu pada hari Rabu (30/9/2016) ahir bulan lalu, dia mungkin tidak sedikitpun pernah memperkirakan bahwa ucapannya yang merujuk pada "Al-Maidah 51" itu akan menimbulkan reaksi kemarahan sekelompok umat Islam di Jakarta dan daerah-daerah lainnya di tanah air.Â
Mengapa Ahok tidak mempertimbangkan dampak dari pernyataannya itu? Apakah dia telah bertindak teledor sehingga berbuat konyol tanpa memperhitungkan akibat sangat merugikan terhadap posisi jabatannya dan tingkat elektabilitas dirinya sebagai petahana dalam Pilkada 2017 nanti? Saya kira tidak demikian, karena ketika itu Ahok (menurut penilaian saya) sepenuhnya menggunakan kerangka berpikir sebagai seorang warga-negara yang memandang Indonesia atau ke-Indonesia-an sebagai supra-struktur yang mengatasi sekat-sekat suku, agama, ras dan golongan sosial-politik (SARA).
Dengan memposisikan dirinya sebagai warga-negara yang sadar dengan hak dan kewajiban konstitusionalnya itu maka (barangkali) Ahok beranggapan:
1. Adalah hak setiap warga-negara untuk dapat dipilih sebagai Kepala Daerah atau (bahkan) Kepala Negara apa pun keyakinan, agama, ras dan aliran politiknya selama tidak bertentangan dengan ideologi Negara (Pancasila) dan UUD-1945.
2. Adalah bertentangan dengan dasar Negara dan Konstitusi bila ada kalangan tertentu yang secara terbuka menyampaikan di muka umum untuk membatasi atau menghilangkan hak dipilih dan memilih seorang warga-negara apa pun alasan pembenarnya entah ideologis (termasuk ajaran kepercayaan atau agama) maupun pragmatis.
3. Bahwa setiap warga-negara bebas untuk memilih calon Kepala Daerah atau Kepala Negara tanpa membedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin apa pun preferensi nilai yang dipakainya.
4. Berkorelasi dengan point 3 di atas, adalah hak setiap warga-negara untuk menggunakan preferensi nilai yang dianggapnya benar menurut pertimbangan ideologis atau keyakinan atau agama tertentu asalkan berlaku sebagai latar-belakang yang terselebung (latent) bukan sebagai latar-depan yang terungkap kepermukaan (manifest).
Berdasarkan ke-4 point dasar berpikir tersebut, maka bisa dimaklumi mengapa Ahok berani menyampaikan kritiknya yang kontroversial itu. Menurut Ahok adanya pernyataan terbuka di ruang publik yang mensitir ayat suci Al-Qur'an tersebut untuk tidak memilihnya adalah sebagai tindak "pembodohan" terhadap rakyat Indonesia karena bertentangan dengan azas dan konstitusi Negara di Republik ini.Â
Tentu saja menurut Ahok bukan ayat atau Kitab Sucinya yang salah, tapi orang yang memakainya secara eksplisit dalam konteks Pilkada itulah yang salah. Tetapi meski demikian, menurut Ahok keputusan memilih atau tidak memilih itu adalah hak setiap orang, apa pun alasannya baik rasional maupun irrasional.
Demikianlah sebuah penjelasan dalam perspektif ke-Indonesia-an sebagai warga-negara di Republik ini saya coba konstruksi dalam menilai Ahok dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepadanya itu. Tapi saya juga maklum bahwa pertimbangan dan penilaian politis dengan perspektif agama juga hak setiap warga-negara untuk memakainya.Â
Negara dan entitas Agama-agama yang ada di Republik ini dalam format Republik Indonesia secara ideal dipandang membentuk formasi seperti sebuah himpunan keseluruhan dengan bagian-bagiannya. Tetapi mungkin saja dalam benak sekelompok orang warga-negara justeru Agama-lah yang meliputi keseluruhan, bukan Negara. Barangkali dititik inilah mengapa sering terjadi benturan atau konflik antara Negara dan kelompok-kelompok keagamaan itu.