Saat ini kita telah hidup di era disrupsi, era dimana perubahan cepat, tidak terduga, dan radikal terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam hal teknologi, ekonomi, budaya, dan sosial. Hal tersebut akan menimbulkan  ketidakpastian dan kompleksitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Paradigma pembelajaran pun bergeser, peserta didik bukan lagi sebagai objek pembelajaran tetapi telah berubah menjadi subjek pembelajaran. Dalam hal ini Guru bukan menjadi satu-satunya sumber belajar siswa dan siswa sebagai penerima pasif, melainkan siswa telah berubah menjadi pembelajar aktif. Inovasi teknologi dalam era disrupsi merubah pola pikir siswa sebagai pembelajar.Â
Pada saat periode tahun 1990-an dan awal 2000-an proses input pembelajaran hanya bersumber dari buku teks dan pengalaman lingkungan belajar siswa seperti proses belajar mengajar di ruang kelas yang kita sebut dengan pendekatan tradisional. Tetapi hari ini berbeda, siswa dapat dengan mudahnya mengakses berbagai input pembelajaran dalam satu genggaman melalui gadget-gadget yang mereka miliki. Inovasi teknologi seperti kecerdasan buatan atau "Artificial Intelligence"Â yang bekerja mengikuti cara berpikir manusia semakin mempermudah siswa dalam proses input pembelajaran. Hal ini berdampak baik karena proses input pembelajaran-pun semakin mudah, siswa tidak perlu "bertele-tele" untuk mencari informasi yang ingin mereka peroleh.Â
Lalu dimana letak masalahnya? Konsekuensi dalam perkembangan teknologi seperti yang telah dijelaskan diatas tidak boleh menggeser peran guru sebagai seorang pendidik. Perkembangan teknologi tersebut justru akan menjadi tantangan bagi guru sebagai seorang pendidik.Â
Pada suatu hari seorang guru Sosiologi di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) sedang melakukan proses pembelajaran di ruang kelas, Guru tersebut melakukan proses pembelajaran dengan metode ceramah dan sesakali meminta siswa untuk membaca buku teks secara besama-sama.Â
Di akhir proses pembelajaran guru tersebut memberikan penugasan kepada siswa  yang berisikan sepuluh pertanyaan essai sebagai bahan evaluasi pembelajaran hari ini.  Salah satu dari sepuluh pertanyaan essai yang dibuat guru tersebut berbunyi "Jelaskan perbedaan antara statifikasi sosial dan diferensiasi sosial ! ". Â
Pertanyaan yang diajukan guru sosiologi tersebut mungkin hanya sebuah pertanyaan sederhana yang membutuhkan sedikit analisis tetapi yang menjadi masalah bukan konten dari pertanyaan tersebut melainkan bagaimana proses berpikir seorang siswa dalam menjawab pertanyaan tersebut.  Siswa yang berpikir normatif mungkin akan menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan catatan-catatan yang ia catat saat proses pembelajaran, siswa yang berpikir analitis akan menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan kontruksi berpikir didalam otaknya dan mengaitkannya dengan teori-teori yang ia pahami. Namun bagaimana dengan siswa lainnya? mungkin ada beberapa siswa yang akan menjawab pertanyaan tersebut dengan memanfaatkan teknologi yang saat ini telah berkembang. Siswa dapat dengan mudah membuka website berbasis Artificial Intelligence seperti chatGPT dan menyalin petanyaan yang diajukan guru tersebut. Karena website tersebut bekerja mengikuti kecerdasan buatan manusia, website tersebut dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut dan siswa pun  mengalami degradasi dalam hal berpikir dan moral sebagai pembelajar.Â
Fenomena tersebut menjadi tantangan bagi guru sebagai seorang pendidik. Proses pembelajaran dituntut lebih inovatif dan harus melampaui perkembangan teknologi yang ada. Pembelajaran berbasis tekstual seperti ceramah, mendikte catatan atau mengerjakan tugas di LKS sudah tidak relevan untuk diterapkan saat ini karena dalam beberapa kasus dan telah berkembangnya teknolgi saat ini hal tersebut malah akan menimbulkan "degradasi proses berpikir siswa". lalu bagaimana solusinya? Guru tidak boleh berpikir konservatif . Guru tidak boleh hanya menjadi fasilitator belajar siswa disekolah, guru juga  harus menjadi mentor perkembangan mental belajar siswa.  Seorang aktivis terkenal Indonesia, Soe Hoek Gie pernah didalam buku catatannya pernah mengatakan bahwa belajar akan berhasil jika memiliki stimulus dan nafsu belajar. Oleh karena itu dalam hal ini guru harus mampu menjadi stimulus dan membangun nafsu belajar siswa. Dalam proses pemberlajaran guru tidak boleh hanya berpegangan hanya dengan satu sumber belajar yaitu buku teks pelajaran. Guru tidak boleh dikalahkan oleh teknologi.Â
Guru harus meng-upgrade kompetensi dalam hal strategi pembelajaran dan media pembelajaran agar pembelajaran terkesan menarik. Konsep pembelajaran scaffolding yang diperkenalkan oleh Lev Vygotsky mungkin dapat menjadi salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan guru dalam proses pembelajaran. dimana guru memberikan dukungan yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa kecerdasan spasial yang dimiliki masing-masing siswa. Guru memberikan bantuan, panduan, atau model bagi siswa untuk membantu mereka mencapai pemahaman yang lebih dalam oleh karena itu pembelajaran berdiferensiasi sangat penting untuk diterapkan saat ini.Â
Dalam hal evaluasi pembelajaran pun demkian, penugasan berbasis  tekstual seperti mengerjakaan soal yang hanya menyangkut ranah "mengingat dan memhamai" atau dalam konsep takstonomi Bloom kita kenal dengan istilah C1 dan C2 sudah sangat tidak relevan diterapkan saat ini. Penugasan semacam itu akan dengan mudah "dilindas" oleh teknologi Artificial Intelligence. Â
Penugasan yang bertujuan sebagai alat evaluasi pembelajaran tidak boleh lagi berbasis penugasan tekstual melainkan harus penugasan berbasis proyek dimana siswa belajar melalui proyek-proyek yang berorientasi pada masalah dan memerlukan pemecahan masalah kreatif. Â Siswa bekerja dalam kelompok atau tim untuk menyelesaikan proyek. Kolaborasi ini memungkinkan mereka untuk berbagi ide, memecahkan masalah bersama, dan mengembangkan keterampilan sosial. Hal ini akan menumbuhkan pengalaman kolaboratif siswa dalam proses kontruksif membangun pengetahuan yang akan ia peroleh.