Elakkan tak bisa diperbuat lagi apabila menyangkut pautkan sebuah landasan baik ideologi maupun materiil sebuah negara. Memang betul, dasar materi setiap negara pastinya begitu "tinggi", toh, mana ada negara yang mau berada jauh dalam kegelapan ataupun paling tidak keremangan dunia yang semakin lama semakin mutakhir nan kompetitif.Â
Setiap negara menginginkan hal yang ideal dalam tubuh mereka, dalam konstitusi, bait lagu kebangsaan, bahkan kehidupan seks warga negaranya. Namun, sayangnya para pelanjut founding fathers setiap negara banyak yang kurang mampu dalam menyatukan gagasan dengan pendahulu mereka. Globalisasi dan rencana kehidupan di masa mendatang menempatkan materi lebih diutamakan daripada yang lain baik secara individu maupun kolektif kemasyarakatan. Konsep idealisme negara harus segera dikaji ulang, supaya tidak menjadi salah kaprah apalagi melenceng jauh dari pencetus ideologi. Pragmatisme, sang pemegang kunci jawaban.
Bhinekka Tunggal Ika : Idealkah?
Konsep dasar yang diambil dari Sutasomanya Mpu Tantular ini mengikrarkan sebuah janji semangat berkobar bahwa Indonesia adalah negara beragam yang umatnya menyatu, senang akan pluralisme yang mereka milikki, juga daya toleransi dari akar rumput hingga pencakar langit kekuasaan yang tinggi. Upaya "Bhinekka Tunggal Ika" menyerap sebuah gairah ideal dalam menciptakan tatanan masyarakat yang seragam, "satu", itulah mengapa Indonesia seringkali menjadikan posisi Pancasila sebagai jawaban solusi atas intoleransi warga negara satu sama lain.Â
Seutuhnya, Pancasila yang dikatakan ideal seharusnya menjadi bahan awal menciptakan tatanan masyarakat yang diinginkan, bukan malah menjadi kesimpulan apalagi solusi permasalahan. Sebagai dasar yang konkret, Pancasila bersama Bhinekka Tunggal Ika menjadi penghalang masalah sedari awal. Okelah, jika mulanya Pancasila dinyatakan sebagai pemecah solusi, tetapi di usia negara yang sudah mencapai tujuh puluh dua tahun ini, Garuda harus bisa mencengkram penuh konsep bermasyarakat. Dalam usia yang sudah lama ini, masihkah Bhinekka Tunggal Ika dianggap ideal terhadap kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara di republik ini? Tentu pluralisme itu harus dijaga, begitu pula dengan keberagaman yang sepaket dengannya.Â
Tidak ada yang salah dengan Pancasila, Bhinekka Tunggal Ika, dan segala tetek bengeknya. Pemimpin dan masyarakatlah yang harus l figur tolak ukur implementasi dan nyatanya Pancasila. Entah pendidikan ataupun keamanan maupun ekonomi bahkan, Indonesia harus mampu mengeruk segala kemampuan yang ada dalam menyamakan konsep suku atau ras atau agama dengan azas kebangsaan dan kenegaraan.Â
Pragmatisme mencoba terangkat ketika melihat kontradiksi konsep negara dan agama, masalah yang paling sering dihadapi. Kembali tergantung kepada masyarakat, harus ada pemilahan yang tepat : menjadi Indonesia dan orang beragama yang baik. Sosok ideal totok sangat tidak memungkinkan hidup di negara beragam ini, entah ideal nasionalis maupun ideal agamis. Mencoba sebagai umat pragmatis harus dicoba sebagai upaya mengembalikan idealisme landasan ideologi Indonesia sendiri.
Orde Lama, Orde Baru, Reformasi. Upaya Pragmatisme?
Idealkah sebuah konsep kebangsaan jika berkali-kalinya konstitusi dan pelbagai jenis kepemimpinan masih tidak mampu secara total atau paling tidak menyeluruh menyegerakan apa yang diwujudkan dalam apa yang dimaksud dengan dasar dan ideologi negara? Orde Lama dalam segala bentuk kekuasaan di antara rakyat-rakyat (maaf) masih berintelegensi dan kecerdasan yang masih belum sesuai rata-rata pas zamannyapun susah untuk disatukan. Atau Orde Baru, yang "Pancasilais" tetapi begitu menampilkan bentuk diktator seolah-olah ada dua lapisan rakyat. Pada lapisan atasnya, yang terbagi atas : birokrat, ekonom, dan militer serta akar rumput, yang lapisannya masih cukup mudah untuk dikuasai dan diberi pelajaranpun, karena pemimpin yang menggunakan Pancasila sebagai pacuan kekuasaan.Â
Bahkan, reformasi yang katanya untuk menyatukan kebangsaan masyarakat, masih belum mampu dalam hingga dua puluh tahun membuat bangsa bersatu. Hal ini dikarenakan Indonesia masih melihat Pancasila sebagai hal yang ideal tanpa boleh dilihat sebagai sektor yang dapat dikonversi, bukan diubah. Masih banyak warga negara, terutama yang berpengaruh, secara teoritis mendefinisikan Pancasila secara harafiah dengan mengimplementasikannya secara buruk, seperti halnya diktator yang menggunakan Pancasila sebagai tandem kekuasaan. Justru, dengan implementasi yang sesuai, Pancasila dapat terwujudkan. Contoh, Pancasila yang menyatakan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia seolah-olah diartikan keadilan yang menekankan kesamaan pada setiap orang, laiknya konsep Komunisme-Marxisme secara intrinsik.Â
Para penguasa memanfaatkan hal tersebut sebagai ladang korupsi. Keadilan komutatif yang diambil malah lebih mudah dikorup daripasa keadilan distributif karena gaung-gaung yang terlihat santun, namun sebenarnya jahat. Sila kelima tersebut seolah-olah didefinisikan sebagai keadilan komutatif, padahalnya unsur distributif juga termasuk yang dapat memperjelas bahwa hak harus diberi sesuai kewajiban, transparansi semakin jelas, dan rakyat semakin tahu menahu mengapa pemerintahan diberikan gaji atau punya kondisi uang yang lebih dari mereka.Â