"Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya" (Mohammad Natsir)
Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, pernah ada seorang tokoh politik dan pendidikan hebat yang namanya mungkin tak sementereng Ki Hajar Dewantara, kisahnya juga tak semasyhur Sutomo atau nama-nama lainnya. tapi kiprah serta warisan yang ia berikan untuk bangsa ini sama sekali tidak bisa disepelekan. Ialah Doktor Mohammad Natsir, tokoh sejarah yang pada bulan November tahun 2008 lalu diberikan gelar pahlawan Nasional oleh Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993. M. Natsir mendapatkan pendidikan agama dan dibesarkan dengan tradisi Islam yang kuat oleh keluarganya yang merupakan Muslim yang taat. Karena kemauannya yang kuat mempelajari ilmu-ilmu agama, ia mampu menguasai bahasa Arab dan dalam waktu singkat ia juga mampu membaca kitab kuning.
Ia menjalani pendidikan formal di HIS (Hollands Inlandsche School), sekolah dasar buatan pemerintah Hinda Belanda pada tahun 1916-1923, lalu melanjutkannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Oderwijs) di padang tahun 1923-1927. Baru pada tahun 1927-2930 ia memasuki jenjang seklah atas di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung.
Pendidikan di sekolah dilaluinya dengan sangat baik. Ketika bersekolah di MULO, ia mampu mendapat besiswa dan aktif pula di gerakan kepanduan Natipij (Nationale Islamitische Padvindrij) juga di organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). M. Natsir selama hidupnya memang dikenal sebagai seorang yang haus ilmu. Ia sangat suka membaca. Kesukaannya membaca itu mengantarkannya menjadi anggota perpustakaan. Di sekolah Belanda yang sekuler pun ia masih tekun mempelajari ilmu agama. Kelak, di kota kembang itulah ia bersua dengan guru yang banyak mempengaruhinya, A. Hassan yang merupakan pemimpin Persis.
Setamat dari AMS, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke fakultas hukum di Batavia dan berhak pula untuk kuliah ekonomi di Rotterdam. Selain itu terbuka juga kesempatan baginya untuk menjadi pegawai pemerintah dengan gaji yang tinggi. Tapi semua itu ditolaknya mentah-mentah.
Dia lebih memilih untuk terjun langsung di tengah-tengah masyarakat. Dunia organisasi keislaman telah membuka cakrawala baru baginya. Ia lebih tertarik pada bidang dakwah dan pendidikan Islam serta politik. Kepada majalah tempo ia bertutur kalau ia lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat. politik oposisi sebagai orang jajahan. Dan ia merasa berdosa kalau itu ia tinggalkan.
M. Natsir dikenal sebagai cendikiawan sekaligus negarawan. Guru sekaligus politisi, juga penulis yang andal. Ia mendirikan Pendis (pendidikan Islam) pada tahun 1932 sebagai alternatif dari pendidikan kolonial buatan Belanda. Ia juga dikenal sebgai salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia (UII), dan juga pelopor berdirinya berbagai pesantren tinggi (ma'had 'ali) dan pesantren-pesantren mahasiswa di sekitar kampus-kampus di Indonesia seperti ITB, UGM, dan IPB pada era 80-an.
M. Natsir dalam usahanya itu mencoba mengintegrasikan pendidikan yang kala itu telah bercerai, yaitu pendidikan agama dan umum. Ia menginginkan agar kaum Muslim menguasai agamanya sengan baik, namun pada saat yang sama juga mampu bersaing secara global. Jangan sampai timbang sebelah. Mahir dalam ilmu sekuler tapi kerontang ilmu agamnya sehingga jalan yang ditempuhnya bukan jalan yang diridhai agama, atau sebaliknya, menguasai ilmu agama tapi kalah di gelanggang internasional.
Di bidang politik, ia aktif di partai Masyumi dan menjabat sebagai ketua dari tahun1945 sampai dibubarkan pada tahun 1960. Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia pusat. Ia juga menbat sebagai perdana Menteri setelah sebelumnya menjadi Menteri penerangan. Di kancah internasioanal pun ia aktif sebagai ketua Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua dewan masid se-dunia.
Sekarang walaupun kita sudah lama merdeka, tak bisa dipungkiri kalau mental yang diwariskan oleh penjajah masih membekas dan melekat dengan bangsa kita. Di masa penjajahan, kita diberi ilmu, diberi akses pendidikan, tapi dengan kebebasan yang dikekang. Kita ditekan supaya tidak tumbuh. Bangsa kita diberi banyak seperti Arts, Mr., Dr, Ir, tapi tetap saja diberi Batasan tidak boleh menjabat di posisi yang tinggi. Setinggi-tingginya paling hanya regent (setingkat bupati) atau demang (setingkat lurah) .Di kantor-kantor buatan mereka kelihatan orang-orang yang kehilangan cita-cita akibat hanya diberi pendidikan tapi tidak dengan kebebasan.