Oleh : Reza Fitriyanto
[caption id="attachment_135082" align="aligncenter" width="600" caption="Sejumlah pekerja difabel bekerja di Industri pembuatan mainan kayu "Mandiri Craft" di Bantul, Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Mandiri Craft merupakan industri pembuatan mainan kayu yang khusus hanya mempekerjakan orang - orang difabel dan telah mengekspor hasil produksinya ke berbagai negara di Asia dan Eropa."][/caption]
Di siang itu, kala memasuki sebuah ruangan di mana para pekerja sedang sibuk dengan aktivitas pekerjaanya masing - masing, saya langsung disuguhi pandangan yang unik dan jauh berbeda dari sewajarnya para pekerja. Suara bising alat-alat industri serta celoteh sana – sini oleh para pekerja mewarnai suasana terik waktu itu. Aktivitas para pekerja tersebut setidaknya mampu membuat terkesima sesaat bagi siapapun yang baru pertama mengunjunginya. Pandangan itu bervisualkan para pekerja yang semuanya adalah kaum difabel atau orang – orang cacat.
Mandiri Craft, begitu mereka menamakan tempat itu. Sebuah lokasi industri pembuatan mainan dari kayu yang mulai dirintis sejak tahun 2003 oleh sekelompok penyandang cacat yang berjumlah 25 orang. Mandiri Craft adalah salah satu industri manufaktur mainanterkenal di Bantul yang terletak di Jalan Parangtritis KM 6,5 Sewon Cabean, Bantul, Yogyakarta. Produk-produknya telah diekspor ke berbagai negara di Eropa, khususnya Italia, Australia, Jerman dan juga untuk wilayahNegara-negara di Asia. Direktur Utama Yayasan Mandiri Craft , Slamet Tarjono (39) mengaku bisnis yang ia rintis tersebut sempat kolaps pasca gempa bumi dahsyat yang meluluh - lantahkan kawasan Bantul, Yogyakarta dan sekitarnya pada Mei 2006 silam. Namun, berkat perjuangan serta kerja kerasnya, beliau merintis kembali bisnis tersebut hingga menggugah berbagai LSM asing untuk member donasi.
Ada suatu keunikan khusus dari bisnis ini, yaitu adalah latar belakang fisik para pekerjanya. Dengan latar belakangnyayang begitu unik, misalnya ketika kita melihat para pekerja, kita akan terkejut oleh klasifikasi dari mereka yang semuanya adalah orang-orang 'difabel' (penyandang cacat). Kebanyakan dari mereka menderita cacat fisik sejak mereka lahir, tetapi ada beberapa dari mereka yang disebabkan oleh kecelakaan dan bencana alam gempa bumi 4 tahun silam tersebut. Gempa bumi kala itu memakan banyak korban luka maupun jiwa. Mereka, yang masih hidup menderita cacat, seperti tidak memiliki kaki dan mereka harus menggunakan penyangga untuk menopang tubuh mereka. Dan satu-satunya yang dapat digunakan untuk bekerja adalah hanya tangan mereka semata. Meskipun mereka memiliki cacat yang membuat pekerjaan mereka begitu terbatas, mereka ingin menunjukkan kepada kita bahwa disabilitas tidak mengubah semangat mereka untuk menjadi seorang pekerja keras, semangat meraim mimpi dan cita – cita mereka demi sebuah kesejahteraan hidup. Identitas mereka menunjukkan kepercayaan diri dan itu tidak berarti bahwa mereka tidak dapat saling membantu. Sebaliknya, semangat mereka membuat mereka begitu kuat, kuat dan makin kuat. Oleh karena itu, tempat ini setidaknya menjadi salah satu dari sekian banyak tempat untuk dapat terus berkreasi, berusaha, berkarya, dan menggapai asa setinggi-tingginya bagi mereka – mereka yang lebih terbatas dari kita sebagai orang normal, yaitu mereka para kaum difabel. (REZ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H