[caption id="attachment_155780" align="alignnone" width="648" caption="YOGYAKARTA, 13/01 - SAPARAN BEKAKAK. Seorang tokoh masyarakat setempat memotong Bekakak di area pasanggrahan Gunung Gamping, Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, tempat diadakannya upacara adat Saparan Bekakak, Jumat (13/01). Upacara adat Saparan Bekakak merupakan sebuah ritual guna memperingati kesetiaan abdi dhalem Kraton Yogyakarta, Ki Wirosuto serta meminta keselamatan bagi penduduk agar terhindar dari malapetaka yang diwujudkan dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) bernama Tirto Dono Jati dan Nyi Tirto Mayangsari yang terbuat dari campuran tepung beras ketan. rez/12"][/caption]
Ritual Upacara adat Saparan Bekakak adalah sebuah ritual budaya Jawa asli dari Yogyakarta yang diselenggarakan tiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa atau safar dalam kalender islam. Siang itu seusai shalat Jumat, ratusan warga berkumpul untuk bersiap menyaksikan ritual tahunan ini yang berlangsung dari Balai Desa Ambarketawang, dan diakhiri di pasanggrahan Gunung Gamping, Sleman, Yogyakarta, dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari beras ketan.
Menurut mitos Jawa kuno, dahulu bulan Sapar dianggap sebagai bulan sial dimana seringkali terjadi sejumlah musibah atau kecelakaan. Kepercayaan ini mendorong masyarakat Jawa untuk tidak menyelenggarakanberbagai hajatan seperti pernikahan terutama pada hari rabu terakhir di bulan ini.
Hingga saat ini, masyarakat Jawa di sekitaran kawasan Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta, dimana lokasi ini merupakan tempat didirikannya Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya, masih melaksanakan ritual Saparan dengan maksut sebagai wujud doa Pada Yang Maha Kuasa agar dihindarkan dari mara bahaya. Otomatis, ritual adat ini memiliki latar belakang sejarah yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dikisahkan bahwa ada sepasang suami-istri yang merupakan abdi dhalem setia Kraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) bernama Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta. Sebagai Kanjeng Sinuhun yang pertama, Sultan Hamengku Buwono I bermaksud emndirikan sebuah istana (Kraton) sebagai kediaman kerajaannya. Sembari menunggu pembangunan selesai, Sultan memilih beristirahat sejenak di sebuah pasanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang yang pada waktu itu sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dengan menambang batu gamping.
Setelah selesainya Kraton dibangun, Sultan beserta para abdi dhalem hendak kembali ke Kraton namun tidak dengan kedua abdi dhalem tadi. Kyai dan Nyi Wirasuta memilih untuk menetap di pasanggrahan bekas tempat singgah Sultan pertama tersebut. Malapetaka tak diduga terjadi, pada Jumat Kliwon bulan Sapar, Gunung Gamping runtuh dan menewaskan kedua abdi dhalem tersebut. Anehnya, jasad mereka tidak ditemukan hingga sekarang.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Ambarketawang, Gamping diresahkan dengan musibah serupa yang terjadi tiap bulan Sapar. Masyarakat setempat meyakini arwah Kyai dan Nyi Wirasuta masih menempati Gunung Gamping. Mengetahui keresahan tersebut, Sri Sultan bertitah pada masyarkat Ambarketawang agar tiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari campuran beras ketan yang dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta serta warga lain yang tertimpa musibah longsornya Gunung Gamping agar tidak terjadi bencana serupa di wilayah ini.
Ketua Panitia Saparan Bekakak, Frans Haryono mengatakan bahwa Perayaan kirab budaya tak sebatas seremonial tahunan, di balik setiap perayaan ada edukasi kultural yang selalu ingin digelorakan. "Intinya tradisi Saparan Bekakak adalah peringatan terhadap kesetiaan seorang abdi dhalem pada rajanya," ujar beliau sesaat setelah selesainya upacara Bekakak dilaksanakan.
Ritual adat ini berlangsung terus menerus hingga sekarang dengan tidak mengurangi nilai dan makna dari tiap prosesinya. Ritual Saparan Bekakak yang dahulu sebagai wujud tolak bala masyarakat Jawa saat ini telah terintegrasi pada mitos sejarah dan legenda lokal yang tetap diuri-uri secara konsisten oleh masyarakat setempat lebih dari sebuah ritual budaya, namun sebagai komoditi bagi daya tarik wisata lokal maupun manca Negara. (REZ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H