Mohon tunggu...
Reza Falintina Anggraini
Reza Falintina Anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ada Apa dengan Volatilitas Nilai Tukar terhadap Stabilitas Ekonomi di Indonesia?

13 November 2024   15:36 Diperbarui: 13 November 2024   15:36 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketidakpastian ekonomi global semakin meningkat ditandai dengan adanya prospek ekonomi yang terus melambat dan pemulihan yang masih belum terlihat. Selama beberapa dekade terakhir, guncangan eksternal kian terjadi mulai dari Krisis Keuangan Global (GFC) pada tahun 2008, pandemi COVID-19 pada tahun 2019 yang mengguncang perekonomian dunia ditandai dengan kontraksi tajam hingga -3 persen pada tahun 2020. Tidak hanya itu, adanya ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina serta Timur Tengah seperti konflik antara Israel dengan Hamas dan perang regional karena serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah semakin memperburuk aktivitas perekonomian dunia yang memicu terjadinya pergerakan nilai tukar baik di negara maju maupun berkembang dan menunjukkan betapa rentannya nilai tukar mata uang terhadap guncangan eksternal

Nilai tukar menjadi kunci utama dalam sistem keuangan yang memengaruhi hubungan antara perekonomian domestik dengan dunia sebab menjadi pengukuran antara nilai mata uang domestik dengan negara lain. Pergerakan nilai tukar sangat rentan terhadap gangguan internal maupun eksternal dan pada gilirannya akan berdampak pada kinerja perekonomian domestik di suatu negara terutama negara dengan sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia. Fenomena tersebut biasa dikenal sebagai volatilitas nilai tukar yang merupakan ketidakpastian atau fleksibilitas yang disebabkan oleh dinamika pergerakan nilai tukar dalam beberapa waktu.

Volatilitas nilai tukar rupiah terjadi karena ketidakpastian global yang terus mengalami perubahan dalam beberapa waktu yang direspon dengan pengetatan kebijakan moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) melalui kenaikan suku bunga, di mana hal tersebut akan berimbas terhadap kenaikan suku bunga di negara berkembang termasuk Indonesia.

Sejak menerapkan sistem perekonomian terbuka, Indonesia telah mengganti sistem nilai tukar rupiah sebanyak tiga kali. Sebelum terjadinya krisis keuangan Asia 1997-1998, kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang baik (Basri, 2018). Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,6 persen per tahun sejak tahun 1967 hingga 1996 dengan tingkat kemiskinan menurun dari 54,2 juta pada tahun 1967 menjadi 34 juta pada tahun 1996 dan nilai tukar rupiah terhadap USD pada tahun 1996 masih pada kisaran Rp2.342. Namun, sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah mulai melemah yang disebabkan oleh currency turmoil yang melanda Thailand yang dengan segera menyebar ke Indonesia dan negara ASEAN lainnya sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mempunyai kemiripan.

Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi sebab Bank Indonesia menghilangkan ambang batas intervensi sebagai respon terhadap Krisis Keuangan Asia yang berdampak pada aktivitas ekonomi Indonesia. Ketika sistem nilai mengambang diberlakukan nilai tukar rupiah terhadap USD berada pada kisaran Rp2.900 di tahun 1997. Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan dan melemah di tahun 1998 yakni pada kisaran Rp10.000 per USD. Pergerakan nilai tukar rupiah mulai cenderung membaik yang ditandai dengan menguatnya nilai rupiah pada kisaran Rp7.000 per USD di tahun 1999. Tetapi di tahun 2008, nilai tukar kembali mengalami tekanan dan mencapai kisaran Rp9.000 per USD. Nilai tukar rupiah terhadap USD pada tahun 2009 sangat anjlok dan melemah seperti pada masa Krisis Keuangan Asia yaitu mencapai kisaran Rp10.000. Hal ini karena adanya Krisis Keuangan Global yang diawali dengan krisis perumahan (Subprime Mortgage) di Amerika Serikat.

Tiga tahun setelah terjadinya dua krisis besar, nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pergerakan yang baik ditandai dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap USD yaitu pada kisaran Rp8.000 hingga Rp9.000. Namun, penguatan nilai tukar rupiah tidak bertahan lama sebab pada tahun 2013 nilai tukar 10 rupiah kembali melemah yaitu pada kisaran Rp10.000 sama seperti saat terjadi krisis keuangan. Pelemahan rupiah ini disebabkan oleh adanya Taper Tantrum (bukan krisis), yaitu diakhirinya program Quantitative Easing oleh The Federal Reserve yang memicu reaksi pasar dan memberikan dampak pada lima negara berkembang yang rentan seperti Brazil, India, Afrika Selatan, Turki dan Indonesia yang disebut sebagai fragile five.

Pandemi COVID-19 menempatkan ekonomi Indonesia di bawah tekanan yang sangat besar pada tahun 2020 yang ditunjukkan dengan PDB Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai -2,07 persen. Bersamaan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut, nilai tukar rupiah cenderung stabil jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2019) yaitu berada pada kisaran Rp14.000. Hal ini terjadi karena pada saat pandemi, The Federal Reserve memangkas suku bunga dengan target 0 hingga persen untuk menyokong aktivitas ekonomi Amerika Serikat.

Volatilitas nilai tukar rupiah masih terjadi hingga saat ini. Dilansir dari Google Finance, pada tahun 2024 ini nilai tukar rupiah melemah hingga mencapai kisaran Rp16.000 pada Bulan April. Hal ini terjadi sebagai imbas dari kondisi ekonomi global yang terus berada di bawah ketidakpastian dan pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed melalui peningkatan suku bunga. Dapat dipastikan bahwa, kebijakan suku bunga yang ditetapkan oleh The Fed akan mengguncang ekonomi global termasuk Indonesia. Namun, pada Bulan September, nilai tukar rupiah kembali menguat pada angka Rp15.300 yang dibarengi dengan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sebagai respon terhadap pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat sejalan dengan melambatnya tekanan inflasi global. Meski telah meningkatkan suku bunga kebijakan untuk mempertahankan nilai tukar Rupiah dalam rentang fundamentalnya, melemahnya nilai tukar Rupiah dalam jangka panjang menyebabkan arus modal keluar meningkat akibat ketidakpercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia. Kondisi ini memiliki multiplier effect yang besar terhadap ekonomi domestik dimana pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi berjalan lebih lambat. Tidak hanya itu, keagresifan otoritas moneter negara maju memberikan tantangan yang komplek terhadap Bank Indonesia dalam menakar kebijakan moneter yang pro-growth dan pro-stability.

Maka dari itu, volatilitas nilai tukar di Indonesia mendorong berbagai kebijakan yang bertujuan menjaga stabilitas ekonomi, yaitu melalui kebijakan moneter, intervensi pasar, diversifikasi ekonomi, dan penyediaan instrumen lindung nilai. Kebijakan-kebijakan ini menjadi langkah penting bagi pemerintah dalam menghadapi dampak negatif volatilitas kurs, menjaga inflasi, serta mendukung investasi dan daya saing ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun