Pemerataan ekonomi di Bekasi merupakan isu yang semakin mendapat perhatian, terutama mengingat status Bekasi sebagai salah satu kota terkaya di Jawa Barat. Reza Dwi Kurniawan, seorang mahasiswa aktif dari Universitas Pelita Bangsa, mengungkapkan pengamatannya mengenai ketimpangan ekonomi di daerah tersebut, khususnya saat menjalankan tugas sebagai enumerator UMKM. Dalam laporannya, Reza menyoroti ketidakmerataan pembangunan ekonomi antara pusat kota dan daerah pinggiran, seperti Cibarusah, KP Sentul, Desa Ridomanah.
Ketika Reza berada di Cibarusah, dia menemukan bahwa teknologi yang digunakan oleh warga di daerah tersebut sangat terbatas. Banyak dari mereka masih menggunakan metode tradisional dalam menjalankan usaha mereka, yang tentunya menghambat perkembangan bisnis mereka. Keterbatasan teknologi ini mengakibatkan mereka sulit untuk bersaing dengan para pedagang yang lebih maju secara teknologi di kota-kota besar.
Selain masalah teknologi, Reza juga mencatat bahwa kondisi jalan di daerah tersebut sangat memprihatinkan. Jalan-jalan yang rusak tidak hanya menghambat mobilitas warga tetapi juga mempengaruhi distribusi barang dagangan. Hal ini menambah beban bagi para pedagang kecil yang sudah berjuang dengan modal yang minim.
Masalah pembangunan infrastruktur yang lambat juga menjadi sorotan Reza. Meskipun ada upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan fasilitas, kecepatan pembangunannya tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini membuat daerah seperti Cibarusah tetap terbelakang dibandingkan dengan pusat-pusat ekonomi di Bekasi.
Walau demikian, Reza juga mencatat adanya sisi positif dari daerah tersebut, yaitu keasrian dan keaslian lingkungan yang masih terjaga. Keberadaan alam yang masih asli memberikan suasana yang berbeda dibandingkan dengan area yang lebih modern. Namun, keasrian ini datang dengan harga yang tinggi, yaitu ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok.
Reza menyadari bahwa ketidakmerataan ekonomi ini sangat kontradiktif dengan status Bekasi sebagai kota terkaya kedua di Jawa Barat. Banyak pedagang kecil di daerah pinggiran hanya bisa mengandalkan modal yang sangat terbatas, atau bahkan tidak memiliki modal sama sekali. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara pusat kota yang maju dan daerah pinggiran yang terabaikan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana penilaian ekonomi kota dilakukan. Apakah indikator kekayaan kota benar-benar mencerminkan kesejahteraan seluruh warganya? Atau apakah ada kecenderungan untuk hanya menilai kota berdasarkan pusat-pusat perkembangannya, sementara daerah-daerah pinggiran diabaikan?
Sementara itu, Reza menegaskan pentingnya perhatian lebih dari pihak-pihak terkait untuk mengatasi ketimpangan ini. Pemerataan pembangunan harus menjadi prioritas agar semua warga, termasuk yang berada di daerah pinggiran, dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Penambahan investasi dalam infrastruktur dan teknologi di daerah-daerah seperti Cibarusah dapat membantu meningkatkan daya saing dan kualitas hidup masyarakat.
Kedepannya, diharapkan ada kebijakan yang lebih inklusif yang memperhitungkan kebutuhan dan kondisi daerah-daerah pinggiran. Langkah-langkah seperti pelatihan teknologi untuk UMKM, perbaikan infrastruktur, dan dukungan modal dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketimpangan ini.