Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia, yang dikenal sebagai wadah pengkaderan intelektual dan pemimpin masa depan bangsa. Dengan landasan ideologis Islam, HMI telah memainkan peran yang signifikan dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak pihak berpendapat bahwa HMI semakin terjebak dalam pusaran politik praktis, yang pada akhirnya mengaburkan visi dan misi utamanya sebagai organisasi mahasiswa yang independen.
Sejarah panjang HMI dalam dunia politik dimulai sejak awal kemerdekaan Indonesia. HMI berperan aktif dalam berbagai gerakan politik dan sosial, yang pada saat itu sangat relevan dengan kondisi bangsa. Keterlibatan HMI dalam politik di masa lalu sering kali didorong oleh situasi darurat dan kebutuhan mendesak untuk mempertahankan kemerdekaan serta memperjuangkan keadilan sosial. Namun, dengan semakin stabilnya kondisi politik di Indonesia, peran HMI seharusnya bertransformasi lebih kepada pengembangan intelektual dan moral anggotanya, daripada terlibat dalam politik praktis.
Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, HMI tampak semakin tenggelam dalam pusaran politik praktis. Banyak kader HMI yang terjun ke dalam dunia politik dengan membawa identitas organisasi, sehingga menciptakan kesan bahwa HMI telah menjadi alat politik bagi kepentingan tertentu. Hal ini diperparah dengan munculnya faksi-faksi di dalam tubuh HMI yang saling berkompetisi untuk mendapatkan dukungan politik dari partai-partai besar. Akibatnya, HMI sering kali terpecah belah dan kehilangan fokus pada tujuan utamanya.
Masalah utama yang muncul ketika HMI terlalu dekat dengan politik praktis adalah hilangnya independensi organisasi. Sebagai organisasi mahasiswa, HMI seharusnya berperan sebagai kekuatan moral yang mengawasi jalannya pemerintahan dan memberikan kritik yang konstruktif. Namun, ketika kepentingan politik mulai mendominasi, fungsi ini menjadi kabur. HMI yang seharusnya berdiri di atas semua golongan, kini sering kali terlihat condong ke arah kepentingan politik tertentu, yang pada akhirnya merugikan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap organisasi ini.
Selain itu, keterlibatan HMI dalam politik praktis juga berpotensi merusak proses pengkaderan di dalam tubuh organisasi. Fokus utama HMI yang seharusnya pada pengembangan intelektual dan spiritual anggotanya, kini beralih pada strategi politik dan perolehan kekuasaan. Kader-kader HMI yang seharusnya dibekali dengan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan moralitas yang tinggi, kini lebih banyak belajar tentang taktik politik dan bagaimana memenangkan kontestasi kekuasaan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan awal didirikannya HMI.
Fenomena terjebaknya HMI dalam pusaran politik juga berdampak negatif pada citra organisasi di mata publik. HMI yang dulu dihormati sebagai organisasi yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kini sering kali dianggap sebagai bagian dari problematika politik Indonesia. Masyarakat mulai skeptis terhadap gerakan-gerakan HMI, menganggapnya tidak lebih dari sekadar alat politik yang digunakan oleh segelintir elite untuk mencapai tujuan mereka. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan HMI dan anggotanya.
Tidak hanya itu, keterlibatan HMI dalam politik praktis juga mengakibatkan terjadinya konflik internal yang berkepanjangan. Berbagai faksi yang terbentuk di dalam HMI, yang masing-masing memiliki afiliasi politik tertentu, sering kali terlibat dalam perseteruan yang tidak produktif. Konflik ini tidak hanya menghambat jalannya organisasi, tetapi juga merusak hubungan persaudaraan antaranggota yang seharusnya dijaga dengan baik. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengancam eksistensi HMI sebagai organisasi mahasiswa yang solid dan bersatu.
HMI juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga relevansinya di tengah perkembangan zaman. Ketika organisasi mahasiswa lainnya mulai fokus pada isu-isu global seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan inovasi teknologi, HMI tampak masih terjebak dalam isu-isu politik domestik yang sering kali bersifat pragmatis dan jangka pendek. Hal ini menyebabkan HMI kehilangan daya tarik di kalangan generasi muda yang cenderung lebih progresif dan berpikir ke depan. Jika HMI tidak segera keluar dari pusaran politik ini, dikhawatirkan organisasi ini akan semakin kehilangan relevansinya di mata mahasiswa.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, keterlibatan HMI dalam politik seharusnya dilakukan dengan cara yang lebih strategis dan bertanggung jawab. HMI seharusnya memposisikan diri sebagai pengawas dan penyeimbang dalam politik Indonesia, bukan sebagai pemain yang ikut terjun dalam kancah politik praktis. Dengan demikian, HMI dapat tetap mempertahankan independensinya dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa.
Untuk keluar dari pusaran politik ini, HMI perlu melakukan refleksi diri dan kembali kepada nilai-nilai dasar yang menjadi landasan pendiriannya. HMI harus menegaskan kembali komitmennya sebagai organisasi yang fokus pada pengembangan intelektual, moral, dan spiritual anggotanya. Pengkaderan yang berbasis pada nilai-nilai Islam yang universal harus kembali menjadi prioritas utama. Dengan demikian, HMI dapat mencetak kader-kader yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan moralitas yang tinggi.