Dirgahayu. Di sekujur bumi Nusantara kata ini sungguh populer, sekalipun musiman, yaitu tepat bulan Agustus tiap-tiap tahun. Pemakaian kata dirgahayu yang tiap tahun dipakai oleh bangsa Indonesia, di mana-mana menghiasi gang-gang jalan masuk kampung, desa, kecamatan, kabupaten, atau bahkan bertebaran di media sosial dalam menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tepat tanggal 17 Agustus. Kalimat yang memuatnya bervariasi, mulai dari penggunaan kalimat: (1) Dirgahayu HUT Kemerdekaan RI ke-78; (2) Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-78; (3) Dirgahayu RI ke-78.
Saya tidak tahu, apakah penggunaannya yang kurang tepat seperti pada kalimat (1) masih ditemukan atau tidak di tengah kemeriahan perayaan kemerdekaan negara kita setiap tahunnya? Tapi pada suatu ketika di masa lalu, bahwa pemakaian kata dirgahayu yang berasal dari Bahasa Sansakerta (lihat: Kamus Kata-KataÂ
Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia -- Badudu, 2009: 65) dalam kalimat itu mendapat kritik keras oleh para pemerhati bahasa Indonesia, dan gemanya saya kira masih terasakan hingga hari ini.
Penggunaan kata dirgahayu pada kalimat (1) jelas kurang tepat, karena kata dirgahayu ditempatkan di depan kata Hari Ulang Tahun (HUT). Jika Anda merujuk kepada Badudu (Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2009, hlm. 65), Badudu (Inilah Bahasa Indonesia yang Benar I, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 26), dan jika Anda membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga susunan W.J.S. Poerwadarminta (2010: 295) maka Anda akan temukan di dalamnya kata dirgahayu yang berarti "semoga panjanglah usia; (mudah-mudahan) berumur panjang; hidup!"
Kalau kita alih kalimat (1) di atas, maka itu dapat kita ganti menjadi: Mudah-mudahan berumur Panjang HUT Kemerdekaan RI ke-78; Semoga panjanglah usia HUT Kemerdekaan RI ke-78; atau Hidup HUT Kemerdekaan RI ke-78.Â
Tentu logikanya, bahwa salam panjang umur atau yang kita doakan agar panjang usianya bukan untuk Negara Republik Indonesia yang kita cintai, tetapi malah untuk hari ulang tahunnya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa penggunaan kata dirgahayu seperti kalimat (1) di atas tidak tepat, sedangkan kalimat (2) dan (3) bisa dikatakan lebih masuk akal.
Masih dalam topik yang sama, yaitu kasus kebahasaan yang patut dipersoalkan oleh kalangan pemerhati bahasa Indonesia. Bentuk "ke-78" dianggap bermasalah dalam beberapa segi. Ada yang menulis ke-LXXVIII seperti yang dicontohkan J.S. Badudu. Namun, penjelasannya cukup menarik. Di satu sisi ia dulu katakan bahwa penulisan yang benar, yaitu "Bukan ke-XXXVI, melainkan ke-36, atau memakai angka Romawi saja tanpa ke di depannya." Jadi, bukan HUT RI ke-XXXVI, melainkan HUT RI XXXVI.
Di sisi lain, ada yang melontarkan pertanyaan, "manakah yang benar, antara HUT RI ke-78 ataukah HUT ke-78 RI?" Pertanyaan konyol ini rupanya sangat penting karena disangka dapat menimbulkan kesalahpahaman.Â
Bentuk yang pertama, yaitu HUT RI ke-78 merupakan bentuk yang seolah-oleh otomatis akan diartikan bahwa yang berulang tahun adalah RI yang ke-78. Jadi, nalar ini sangat bertolak belakang dari asumsi.Â
Rada menggelikan bahwa rumusan kalimat seperti itu bisa ditafsirkan bahwa RI ada 78. Maka dari itu, diajukanlah kontruksi kalimat kedua yang bernalar sebagai pembanding untuk menegaskan bahwa yang ingin dikatakan adalah "ulang tahun (yang) ke-78", bukan "Republik Indonesia (yang) ke-78". Jelas sudah, kalimat kedua, yaitu HUT ke-78 RI bisa lebih masuk akal dibandingkan kalimat pertama.