Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, setiap kali orang bertemu pasti akan mengucapkan salam "merdeka". Bahkan, salam perjuangan "merdeka" ditetapkan dalam Maklumat Pemerintahan tanggal 31 Agustus 1945 sebagai salam nasional, yang berlaku mulai 1 September 1945. Maklumat tersebut berbunyi: "Sedjak 1 September 1945 kita memekikkan pekik 'Merdeka'. Dengoengkan teroes pekik itoe, sebagai dengoengan djiwa jang Merdeka! Djiwa merdeka, jang berdjoang dan bekerdja!" Pekik "merdeka" menggema di mana-mana kala itu. Semboyan seperti "Sekali Merdeka Tetap Merdeka" atau "Merdeka atau Mati" juga kerap diucapkan para pemuda dan pejuang, yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam banyak kesempatan bertemu rakyat, Bung Karno tak pernah lupa pekik "merdeka". Bung Karno membumikan pekik "merdeka" untuk menggembleng rakyat Indonesia agar semangat perjuangan terus menyala. "Pekik 'merdeka' akan selalu diucapkan oleh orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara Indonesia berjumpa dengan warga negara Indonesia, jangankan di dunia, di surga dan di dalam neraka pun pekik 'merdeka' akan selalu orang Indonesia ucapkan", ucap Bung Karno.
Gagasan, konsep pekik 'merdeka' Bung Karno itulah yang menjadikan bangsa indonesia telah bebas dari segala bentuk penindasan terhadap rakyat dan slogan bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan. Sering terlupakan dari peringatan proklamasi kemerdekaan yang diadakan setiap tahunnya, yakni melakukan reformasi mengenai relasi dan keterkaitan antara pendidikan dan kemerdekaan. Dalam perspektif sejarah, pendidikan telah memberikan kontribusi yang berarti bagi bangsa Indonesia untuk membebaskan dan memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme imperialisme Belanda dan Jepang pada awal abad ke-20.
Sejauh pengalaman teman saya sejak memasuki dunia Pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA), hingga perguruan tinggi mengatakan bahwa dirinya tidak pernah diajari untuk berpikir kritis, berimajinasi, melakukan analisis-analisis kritis, membuat sebuah simpulan atas sebuah persoalan dan selanjutnya diberikan apresiasi tinggi oleh pengajar. Bahkan, dirinya dilarang mendebatkan apa yang sudah dijelaskan oleh pengajar. Apa yang sudah ditulis di papan tulis harus diikuti dan jangan ada protes sama sekali. Guru dan atau dosen berpandangan bahwa ia adalah manusia yang dianggap bodoh sama sekali, tidak tahu-menahu, tidak tahu apa-apa sehingga diharamkan untuk berpendapat beda.
Mereka mengambil satu simpulan final dan mengikat bahwa siapa pun yang diajar harus patuh, tunduk, dan hormat taklid kepada guru atau dosen. Lebih ironis lagi, bila tidak menjalankan itu, maka ilmunya disebut tidak barokah, tidak membawa manfaat dengan segala tetek bengeknya. Pertanyaannya adalah inikah yang disebut pendidikan yang merdeka? Inikah yang dinamai merdeka belajar? Inikah pendidikan yang membebaskan? Padahal bangsa ini sudah merdeka ke-77 tahun dan Bung Karno sudah memekikkan slogan 'merdeka' dalam sejarah dan praktiknya. Sungguh sirna harapan anak bangsa.
Inikah pendidikan yang dimaksud pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan? Padahal Ki Hajar Dewantara jauh sebelum Indonesia merdeka sudah mengutarakan bahwa "pengaruh pendidikan itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin banyak pengaruhnya terhadap kemerdekaan manusia."
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Anda sendiri juga pernah mengalami apa yang teman saya alami? Memang jawaban setiap manusia akan selalu berbeda, ada yang berkata 'tidak' dan ada yang menjawab 'ya'. Namun terlepas dari hal tersebut, pendidikan sesungguhnya harus mampu membangun sebuah kehidupan bangsa yang beradab. Sekolah sebagai salah satu sentrum yang melakukan pendidikan terhadap peserta didik seharusnya harus mampu melakukan sebuah proses berpendidikan yang dinamis dan konstruktif. Sekolah jangan dijadikan alat untuk semakin mengurung ruang kebebasan peserta didik dalam melakukan aktualisasi diri dalam konteks apapun. Sekolah jangan melahirkan bencana bagi peserta didik dengan membuat mereka semakin tidak 'kerasan' berada di dalamnya.
Sekolah yang bisa dipandang mampu berhasil meningkatkan kualitas hidup peserta didik bukan semata diukur dari angka-angka statistik belaka, namun juga diukur dari karakter, sikap, dan cara berpikir mereka. Untuk apa para peserta didik mendapatkan angka dengan luar biasa tinggi, namun mereka kemudian menjadi seperti 'katak dalam tempurung', gagap menghadapi realitas dunia yang telah terlanjur mengglobal dan serba digital. Untuk apa para peserta didik sekolah bila tujuannya hanya semata untuk mengejar 'selembar kertas', jika mereka tidak mampu memaknai kehidupannya secara lebih substantif dalam kehidupan yang lebih luas. Kita semua harus sepakat memiliki satu suara bahwa setiap peserta didik memiliki potensi dan kemampuan masing-masing, sehingga mereka seharusnya perlu diajari sesuai dengan kekhasan masing-masing.
Pada kenyataanya, tidak sedikit kegiatan pendidikan yang terjadi saat ini hanyalah sebuah proses pembelajaran yang memaksa siswa untuk menelusuri atau menaiki tangga pendidikan yang tidak berujung. Lebih ironis lagi, pengajaran yang diwajibkan sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri. Kalau boleh berbicara jujur atas makna sesungguhnya dari adanya sekolah, sebenarnya pendidikan adalah media dalam melakukan proses belajar mengajar, yang pada intinya adalah transformasi nilai atas siswa atau masyarakat secara umum. Fungsi pendidikan yang paling fundamental adalah menggugah kesadaran kritis siswanya, sehingga memberikan kedewasaan berpikir logis dan mampu membaca secara kritis terhadap perkembangan sekitarnya. Dalam tahap yang lebih jauh, adalah mampu memerdekakan dirinya dari belenggu dirinya sendiri dan adat istiadat.