Â
Dewasa ini dunia pendidikan kita dihadapkan kepada situasi dan persoalan yang semakin kompleks. Kompleksitas situasi dan persoalan itu menyangkut dengan ditetapkannya pandemi akibat Covid-19 yang melanda Indonesia, sehingga mau tidak mau sistem pendidikan kita di sekolah harus melaksanakan pembelajaran dari rumah, dan itu membutuhkan kreatifitas, inovasi pembelajaran agar pembelajaran tidak membosankan dan menjenuhkan. Memang berat kalau dipikir-pikir, tetapi kita juga harus benar-benar sadar dan membuka mata, bahwa dunia, negara, dan masyarakat berpijak dan melangkahkan kaki sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan dasyat. Giddens menyebutnya sebagai "sebuah dunia yang lari tunggang-langgang (runaway world)".
Kemajuan dan kecepatan teknologi informasi membuat dunia tidak lagi berjarak. Orang-orang bisa berhadapan muka satu sama lain dan bekerja melalui jarak yang begitu jauh melalui kemajuan teknologi. Benar kata Thomas Friedman dalam bukunya yang berjudul The World is Flat: A Brief History of Twenty-First Century, ia mengatakan bahwa "dunia itu datar (the world is flat)". Seseorang akan dapat berlari kencang tiada halangan yang menghadang karena tanah yang datar tidak bergelombang dan bergunung lagi.
Menyikapi hal tersebut, kita harus bersyukur dengan situasi dan keadaan saat ini, banyak nilai positifnya, salah satu di antaranya, yaitu tidak diwajibkan untuk mengejar target. Lah kok bisa? Kenapa? Karena Pendemi Cocid-19 mengajarkan kepada kita bahwa bersekolah bukanlah mengejar target.
Pada dasarnya, hakikat pendidikan nasional berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki fungsi dan tujuan bukan untuk mengejar target selembar kertas bertuliskan angka-angka kuantitatif, tetapi berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bersekolah itu sebenarnya bukan untuk mengejar target tulisan dan angka. Lebih baik tidak bersekolah bila tujuannya hanya semata untuk mengejar 'selembar kertas'. Benar kata Najwa Shihab, bahwa "disiplin ilmu hanyalah modal pertama, ijazah cuma selembar kertas di atas meja". Apa artinya membangun gedung sekolah yang megah dengan pagar yang kokoh dan tinggi kalau hanya membuat penghuninya 'seperti katak dalam tempurung', gagap menghadapi realitas dunia yang telah terlanjur mengglobal dan serba digital.
Belajar ingin cerdas tidak boleh bergantung dengan apapun dan siapapun, kecuali pada kemauan yang kuat untuk belajar itu sendiri. Oleh karenanya, keberhasilan sebuah sekolah kemudian bukan hanya semata diukur menggunakan tulisan dan angka-angka di atas kertas, bukan pula mendominankan prestasi siswanya dengan angka 100 atau angka kuantitatif lainnya.
Bersekolah secara filosofis yaitu membangun kesadaran diri manusia agar mereka selanjutnya bisa memahami makna hidup dan kehidupan sesungguhnya, tidak terjebak pada label hitam dan putih. Artinya, memahami makna kehidupan yang sesungguhnya bukanlah untuk melihat diri sendiri adalah baik dan benar, sementara memahami dan memandang dunia orang lain adalah salah dan tersesat.Â
Dengan demikian, muara akhirnya adalah pendidikan dalam sekolah yang diharapkan semua pihak adalah terselenggaranya pendidikan yang mencakup semua komponen, bukan hanya penguatan intelektual semata. Dengan kata lain, pendidikan bertugas membangun sebuah semangat kehidupan yang setidaknya dapat membimbing anak negeri ini bukan hanya berada pada jalan yang benar dan lurus, tetapi juga jalan yang berprinsip kemanusiaan dan humanisme.
Pustaka: