Generasi, betapa satu kata yang terkadang menjadi topik perseteruan di tengah percepatan arus informasi dan teknologi. Saling silang ego masing-masing pelaku satu masa. Mereka yang sudah uzur mengharap kelangsungan masanya ditanggung penuh oleh generasi mendatang, tidak salah. Kerap kali ada juga yang menyalahkan generasinya sebab tak mampu melayani pola pikir pendahulunya.
Bahkan, ada yang lebih dulu meragukan kualitas pemuda ketimbang memberi kesempatan terlebih dahulu. Lebih parahnya lagi jika seorang legenda hidup mempertanyakan sumbangsih milenial. Keliru bukan? Milenial bukan tidak tahu jalan sebenarnya, hanya saja belum sampai atau bahkan belum berjalan sama sekali.
Tentu bertanya jalan pada mereka yang sudah pernah ke sana akan jauh lebih mudah dimengerti, detail tikungan, tanjakan, bahkan jalan berlubang tidak luput ia rincikan. Maka, mempertanyakan sumbangsih terhadap milenial adalah keliru. Semoga tidak keliru jika objek pertanyaannya dibalik.
Sebab yang mesti disodorkan pertanyaan semacam itu adalah mereka yang tua-tua, sumbangsih apa yang sudah mereka berikan?. Poinnya jelas, mereka lebih dulu mendapat kesempatan. Saling tuding berlanjut, generasi milenial menyalahkan generasi tua sebagai pewaris. Benar juga.
Alur dalam laga tidak hanya ditentukan oleh sang sutradara, tapi bagaimana peran sang bintang. Bak bermimpi setinggi langit, meleset hanya akan menimbulkan dua kemungkinan, pertama, kamu akan jatuh di antara bintang-bintang, kedua, bisa saja kamu dihantam meteor lalu hancur tanpa sisa.
Generasi tua bukan berhak, tapi memang berkewajiban mewariskan peran yang baik, meski lumrah memahami bahwa tidak semua aktor hebat dalam ber-acting. Pusing? saya juga demikian.
Generasi tua sebenarnya adalah generasi muda juga, begitu seterusnya hingga sampai pada manusia pertama yang ada di bumi. Berarti, kurang tepat jika dipetakkan oleh sekat antar generasi dengan sebutan generasi pelanjut.
Kelangsungan satu masa yang cerah ditentukan oleh tiap-tiap individu, tentang bagaimana memberikan yang terbaik dalam memerankan skenario.
Sebab skenario merupakan satu kesatuan antara episode pertama dengan kata TAMAT yang telah disusun rapi jauh sebelum syuting perdana. Kamu tidak bisa memilih peran, mengubah jalan cerita, bahkan kembali pada episode pertama, atau mungkin episode-episode yang menurut mu kurang sempurna. Kesatuan chip yang diberi nama otak dan hati telah disematkan sebaik dan setepat mungkin, dengan kapasitas masing-masing.
Kamu akan hebat jika memadukannya dengan baik, benar saja keduanya memiliki tupoksinya masing-masing, namun yang namanya satu kesatuan tetap saja tidak untuk dipisahkan.Â
Olehnya itu, kamu boleh sependapat dengan saya bahwa tidak ada orang yang mutlak hebat, setiap orang hanya akan hebat sesuai dengan porsinya, mungkin temanmu hebat dalam mengotak-atik mesin, tapi belum tentu sehebat kamu yang lihai dalam meracik bumbu penyedap, atau mungkin tidak sehebat kamu yang cekatan meracik obat-obatan. Meski risikonya sama-sama mematikan. Asal jangan bunuh diri, optimis saja, mungkin besok kamu mati juga. Yang terbaik menurutmu belum tentu baik untuk temanmu.