Kira-kira, dalam 100 hari lagi Jakarta akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernurnya yang baru. Berbeda dengan pemilihan 5 tahun yang lalu, setidaknya ada 5 pasang yang siap bertarung memperebutkankursi nomor 1 di Jakarta ini. Dengan rekam jejak masing-masing yang tidak terlalu buruk, beberapa orangmemprediksikan bahwa putaran pertama ini akan cukup alot.
Meskipun belum waktunya berkampanye, semua calon sudah memanfaatkan media (termasuk Lipsus di Kompas.com) untuk meningkatkan elektibilitas mereka dan memaparkan program-program untuk Jakarta andaikata terpilih menjadi gubernur. Salah satu hal yang menjadi isu panas yang sesuai dengan latar belakang pendidikan penulis adalah masalah transportasi (kemacetan).
Membaca program-program para calon mengenai strategi penyelesaian transportasi, maka kesimpulan awal penulis adalah hampir (jika tidak semua) calon entah kurang mengerti mengenai atau terlalu menganggap mudah menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta.
Jika diamati, hampir semua calon memiliki dua strategi yang kurang lebih sama: menambah angkutan umum dan membatasi kendaraan pribadi, walaupun mungkin detailnya berbeda sedikit. Yang menyebabkan penulis menganggap calon menganggap mudah adalah karena kedua strategi tersebut memanglah strategi yang secara teori diakui dan dipercaya di seluruh dunia akan menyelesaikan permasalahan transportasi dan penulis yakin gubernur incumbent juga sangat mengerti dalam hal tersebut.
Jika, Gubernur Fauzi yang merupakan lulusan Urban Planning dan dikelilingi oleh ahli dari UI dan ITB yang terkenal dengan lulusan transportasi terbaik nasional, mengapa masalah kemacetan di DKI tidak selesai-selesai bahkan terkesan memburuk setiap tahun?
Menurut Penulis, penyelesaian masalah kemacetan di Jakarta harus didukung 3 hal:
- Konsep yang baik; Jakarta harus memiliki cetak biru transportasi yang baik yang disepakati bersama oleh semua ahli-ahli yang terkait dengan perencanaan kota Jakarta ini.
- Dukungan Sosial; Gubernur Jakarta haruslah dapat menyadari bahwa untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan akan dihadapkan pada keputusan untuk pengorbanan kepentingan beberapa pihak. Dalam hal ini, pemerintah harus tetap menjalankan rencananya walaupun mengorbankan popularitasnya
- Dukungan Politik: Gubernur Jakarta haruslah sadar bahwa orang-orang yang berkepentingan dengan kota ini sangatlah banyak dan beragam, bahkan termasuk sesama instansi pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Sekitar / Bodetabek). Oleh karena itu dalam bergerak, gubernur harus memastikan kesepakatan dengan rekan-rekannya. Lebih jauh, Pemerintah Daerah Bodetabek haruslah bisa mengendalikan dukungan sosial terhadap rencana yang terkait dengan Jakarta.
Pemerintahan Gubernur Fauzi saat ini terlalu mengutamakan poin pertama saja, namun dalam pelaksanaanya terkesan main hantam sehingga menimbulkan masalah baru di belakangnya. Ironisnya, hampir semua calon gubernur menyerang sisi lemah yang satu ini dan memberikan solusi yang tidak jauh berbeda, hanya konsep yang baik saja. Sehingga siapapun gubernur yang terpilih, ia tidak siap menghabiskan sebagian besar waktu pimpinannya untuk mengkonsolidasikan rencana dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga pada saat hendak mengimplementasikan tidak ada waktu lagi.
Sehingga, saran penulis kepada para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta adalah untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan agar lebih mempersiapkan strategi pengelolaan sosial dan politik. Bagian besar dari implementasi strategi transportasi adalah faktor manusianya, bukan ilmunya. Akhir kata; selamat berkompetisi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H