Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berlindung di Balik "Privilage"

15 Oktober 2021   08:57 Diperbarui: 15 Oktober 2021   09:53 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Photo by The Lady MusGrave Trust

Jangan merasa istimewa. Jangan merasa kamu punya privilage

Baru-baru ini, tersiar kabar dari seorang selebgram yang diduga kabur saat karantina sepulangnya dari luar negeri. Tanggapan yang beredar tersebut ditepis oleh Ketua Satgas COVID-19 IDI, Prof Zubairi Djoerban

"Siapapun anda. Yang diduga selebgram dan diduga kabur, serta diduga dibantu petugas. Anda tak dapat meninggalkan karantina atas alasan apapun" Kata beliau melalui sebuah kicauan Twitter di hari Kamis, 14 Oktober 2021.10.15

Melihat tingkahnya dia yang membuat masyarakat terperangah sehingga mempertanyakan keberadaannya. Kok bisa-bisanya dia kabur? Sontak tindakan ini bisa jadi berisiko bagi masyarakat. Apalagi ditambah dia baru saja datang dari negara Amerika Serikat rupanya. Prof Zubair menegaskan agar dia ini tidak usah memiliki privilege atau hak istimewa. Setidaknya aturan dibuat untuk ditegakkan bersama demi kenyamanan sama-sama

Sebagai orang awam melihatnya sebenarnya dia ini bukan siapa-siapa, tetapi bagi para netizen yang sudah mengikuti dari awal pasti sudah tahu siapa dia. Jika ditelisik dari latar belakangnya pun, artis bukan, pekerja seni juga bukan. Apalagi model atau pemain film bukan juga. Tetapi namanya melambung karena dia berhasil memanfaatkan media sosial untuk memasarkan bisnisnya dan mendapatkan perhatian dari jutaan pengikutnya melalui aksinya dalam bidang sosial. Bisa dibilang dia merupakan seorang pengusaha yang sukses dan ilmu parentingnya yang bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi calon ibu.

Baru-baru ini nama dia mencuat kala pulang dari Amerika Serikat berpartisipasi dalam sebuah acara dengan menggandeng brand fashion ternama, Erigo bertajuk New York Fashion Week 2021  dan sempat juga dia ini berlibur dengan sahabat dan keluarganya di Nihiwatu Sumba yang merupakan salah satu resort terbaik di dunia. Selebgram yang satu ini memiliki banyak usahanya mulai dari usaha clothing, camilan, pelangsing badan dan lain-lain. Terlepas dari apapun itu, dia merupakan pengusaha yang sukses melihat peluang bisnis dan aktif melakukan donasi atau galang dana untuk korban bencana alam di beberapa daerah di Indonesia.

Melihat perlakuannya pasti disini masyarakat terheran-heran. Kalau seandainya dia ini influencer seharusnya tempatkan dirinya untuk memberikan influence yang baik dan positif kepada followersnya. Bukan malah menjerumuskan followers nya ke "bad influence" atau pengaruh yang buruk. Setenar apapun dia, seterkenal apapun dia sebisa mungkin jangan menggiring ke jalan yang salah. Apalagi urusan soal peraturan malah dilanggar, haduh haduh. Lantas, kalau seandainya seseorang yang bilang "duitku mampu kok" dan "aku berhak bahagia" sudah bisa mencerminkan kalau seseorang ini selayaknya memiliki keistimewaan lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Yes, this is privilage right? Lantas sebenarnya apa itu privilage?

Mengulas Arti Privilage

kata privilage diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi privilese yang berarti hak istimewa

Ditelusuri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata privilage diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi privilese yang berarti hak istimewa. Seringkali pengartian dari privilage ini menimbulkan kesalahpahaman diantara masyarakat. Privilage bisa mengacu pada hal termasuk hidup yang sedang kita jalani juga merupakan sebuah privilage. Tetapi seringkali privilage diartikan sebagai hak istimewa yang didapatkan seseorang yang lahir dari kalangan keluarga terpandang, elit, punya nama dan kaya. Hak ini biasanya dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, namun tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Hak privilage muncul dari hasil stratifikasi sosial atas perbedaan akses untuk mendapatkan barang dan memperoleh layanan yang sama.

Seseorang yang memiliki privilage tidak serta merta menjamin kesuksesan. Tetapi memiliki privilage justru memperbesar peluang untuk meraih kesuksesan dibandingkan orang lain. Namun, sayangnya arti privilage sering dianggap miring oleh masyarakat karena berpikiran kalau mempunyai privilage itu bisa membuka segala pintu dari arah manapun tanpa harus berusaha.

Sebagian masyarakat menganggap seseorang yang punya privilage merasa tidak perlu capek-capek berusaha. Selain itu, kelompok yang memiliki privilese merasa bahwa kemiskinan berakar dari kurang kerja keras dan diam karena tidak ada aksi. Meski sekeras apapun berjuangnya mereka tetap menyangkal untuk mengakui keistimewaan yang dimiliki. 

Fakta menunjukkan bahwa status ekonomi masih menjadi parameter dalam menentukan garis hidup seseorang. Selanjutnya individu yang merasa enggan untuk mengakui hak istimewanya merasa bahwa mereka cenderung diuntungkan dari ketidakadilan yang terjadi. Dengan demikian hal ini bisa menimbulkan penilaian negatif individu, baik tentang dirinya maupun kelompoknya.

Seorang individu yang mengakui bahwa ia memiliki privilege tidak langsung menyangkal begitu saja. Salah satu cara yang dianggap menolak untuk mengakui keistimewaannya yaitu dengan menggunakan narasi kemujuran. Kondisi ini dibuktikan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Singapura di University of Oxford dan Cambridge pada tahun 2020. 

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan narasi luck terdengar lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan narasi kerja keras yang menjurus pada dirinya sendiri. Tentu, semua manusia punya derita hidupnya masing-masing. Bagi orang yang memiliki privilage terkadang juga merasa tidak nyaman dengan perkataannya. Kesengsaraan yang dimiliki kelompok berprivilese sama-sama valid dan penting untuk dipahami.

Privilage dari Sudut Pandang Sosiolog
Dalam ilmu sosial, kita mengenal adanya sebutan assigned status dan ascribed status yang pernah dikemukakan oleh Ralph Linton. Nah, sebutan privilage ini mengarah kepada assigned status atau status yang melekat pada seseorang atas golongan tertentu misalnya dia lahir dari keturunan bangsawan atau para raja-raja, lahir dari keluarga kaya dan golongan elit. Mungkin saja, orang-orang yang memiliki privilage ini dia sudah dikaruniai berkah yang melimpah dari orang tuanya. Sementara golongan ascribed status merasa usaha yang diusahakan tidak ada kaitannya dengan status atau hubungan keluarganya.

Pada kenyataannya, seseorang yang memiliki privilage dalam kehidupan ini memang ada. Kalau mau jadi tim yang mendang-mending ke orang lain, rasa-rasanya setiap dari kita ini sebenarnya juga ada hak istimewanya masing-masing. Contohnya adalah ada seseorang yang sukses berkat relasi dan kenalan orang tuanya, pencari kerja berhasil lolos rekrutmen kerja berkat orang dalam, ada juga yang memang dia lahir dari golongan orang tua kaya yang sudah bergelimang harta. Hartanya dikeruk ga habis-habis. Kaum manusia yang memiliki privilage diibaratkan seperti pepatah "yang kaya makin kaya, yang punya nama lebih diperhatikan". Karena memang kelihatannya orang yang memiliki privilage, seseorang memperoleh haknya secara sepihak.

Berbicara soal privilage, rasanya hidup seakan tidak adil. Berkat privilage maka urusannya lancar, dipermudah sana-sini dan lain-lain. Ya kalau boleh dibilang jika terus-terusan dibanding-bandingkan ya memang rasanya hidup memang tidak adil kalau berhadapan dengan orang-orang yang memiliki privilege. Tapi soal meraih kesuksesan, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menggapainya. 

Mengutip dari perkataan Oprah Winfrey, bahwa punya hak untuk menentukan sendiri pilihan atas jalan hidup kita adalah sebuah privilage yang sakral. Memang tidak semua orang itu dilahirkan dari keluarga yang kaya dan duitnya banyak gak habis-habis, tidak semua orang juga lahir dari keluarga terpandang dengan statusnya yang bikin keturunan cucu-cicit-cucutnya merasakan gelimang hartanya. Tetapi setiap manusia bebas kan menentukan jalan hidupnya sendiri? Tanpa ada paksaan dari siapapun. Menurutku itu sudah lebih dari cukup kan?


“Being privileged doesn't mean that you are always wrong and people without privilege are always right. It means that there is a good chance you are missing a few very important pieces of the puzzle.”
― Ijeoma Oluo, So You Want to Talk About Race

Soal selebgram tadi juga menyiratkan adanya sebuah anggapan bahwa seakan-akan dia memiliki privilege karena dia berhasil kabur dari karantina. Tindakan ini seakan menyiratkan kalau "aturan berlaku untuk dilanggar". Padahal sudah jelas-jelas aturannya dibuat untuk dipatuhi demi kepentingan bersama. 

Menurut Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 18 Tahun 2021 mengatur bahwa penumpang yang baru tiba dari luar negeri wajib melakukan karantina selama 8 x 24 jam. Oleh karena itu, sudah seharusnya untuk bisa bersikap taat terhadap peraturan.  

Walaupun yang bersangkutan sudah melakukan permintaan maaf secara pribadi di instagram story, tetapi masyarakat menganggap permintaan maaf yang dilontarkan tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ada aturan pun ada juga konsekuensi yang harus ditanggung akibat tabiatnya yang ia lakukan.

Terlepas dari apapun latar belakangnya maka aturan dibuat untuk dipatuhi, jika dilanggar pun juga berhak untuk diperiksa dan menanggung segala konsekuensinya yang nantinya ia dihadapi. Karena ya kita tahu sendiri kita berada di negara yang terikat akan hukum. Tidak perduli dia punya privilege atau tidak.

“Responsibility I believe accrues through privilege. People like you and me have an unbelievable amount of privilege and therefore we have a huge amount of responsibility. We live in free societies where we are not afraid of the police; we have extraordinary wealth available to us by global standards. If you have those things, then you have the kind of responsibility that a person does not have if he or she is slaving seventy hours a week to put food on the table; a responsibility at the very least to inform yourself about power. Beyond that, it is a question of whether you believe in moral certainties or not.” - Noam Chomsky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun