"Feelings of worth can flourish only in an atmosphere where individual differences are appreciated, mistakes are tolerated, communication is open, and rules are flexible-the kind of atmosphere that is found in a nurturing family." - Virginia Satir
Kutipan dari Virginia Satir, seorang penulis asal Amerika Serikat, menyoroti bahwa rasa kekeluargaan hanya dapat berkembang dalam sebuah lingkungan yang mendukung, dimana perbedaan individu dihargai, kesalahan dipandang sebagai peluang untuk belajar, komunikasi terjalin secara terbuka, dan aturan diberlakukan secara fleksibel. Atmosfer yang penuh kasih ini merupakan karakteristik khas dari keluarga yang suportif, tetapi prinsip tersebut juga relevan untuk diterapkan dalam konteks kerja, pendidikan, maupun komunitas lainnya.Â
Esensi rasa kekeluargaan ini semakin dirasakan oleh para siswa SMA Kanisius ketika mereka berusaha beradaptasi dengan rutinitas kehidupan di Pondok Pesantren Al Ittifaq. Mereka menghadapi tantangan untuk bangun dini hari, bahkan sebelum subuh, yakni pukul 4 pagi, demi melaksanakan ibadah bersama para santri. Dalam suasana yang hening, mereka mulai menyadari nilai kedisiplinan dan ketenangan spiritual. Selain itu, mereka juga memperoleh wawasan baru melalui pembelajaran sejarah agama Islam yang membuka perspektif mereka terhadap keindahan keberagaman budaya dan kepercayaan.
Pengalaman bertani dan beternak menjadi pelajaran baru yang melelahkan namun sarat makna bagi para siswa. Mereka merasakan langsung kehidupan yang mandiri dan produktif sebagaimana dijalani para santri setiap harinya. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah saat mereka diajarkan membuat mochi stroberi. Prosesnya dimulai dari mencampur tepung ketan, membentuk adonan, hingga mengisi dengan selai stroberi segar buatan sendiri. Kegiatan ini tidak hanya melatih keterampilan praktis, tetapi juga menanamkan nilai kesabaran dan kerja sama.Â
Selain itu, mereka juga mempelajari teknik memanen sawi di kebun pesantren. Dengan penuh kehati-hatian, mereka diajarkan untuk memilih sawi yang siap dipanen, memotongnya dengan teknik yang benar, dan mengumpulkannya untuk diolah lebih lanjut. Kegiatan sederhana ini memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya menghargai makanan yang sering kali dianggap biasa, namun membutuhkan proses panjang hingga tersaji di meja makan.
Di sektor peternakan, para siswa juga diberi kesempatan untuk memberi makan sapi, kambing, dan domba. Awalnya, beberapa siswa merasa takut dan canggung untuk mendekati hewan-hewan tersebut, tetapi dengan bimbingan para santri dan pengurus pesantren, mereka mulai menikmati interaksi ini. Mereka belajar menyiapkan makanan ternak, menyiapkannya, serta memahami peran penting hewan-hewan ini dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Dari pengalaman tersebut, mereka mulai menyadari pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan hewan dalam menjalani kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
Di tengah kesibukan, kelelahan, dan perbedaan yang mereka alami, para siswa tetap menemukan kebahagiaan bersama, salah satunya melalui kunjungan ke Curug terdekat. Perjalanan menuju Curug ini bukanlah hal yang mudah-mereka harus berjalan kaki selama 45 menit melalui jalur setapak berbatu dan ladang yang terbentang luas. Meskipun rasa lelah sempat melanda, mereka saling menyemangati, berbagi canda sepanjang jalan, dan menikmati panorama hijau yang jarang mereka temui di Jakarta. Sesampainya di Curug, keindahan air terjun yang jernih dan udara pegunungan yang sejuk langsung menghapus rasa lelah mereka. Tanpa ragu, mereka menceburkan diri ke dalam air yang dinginnya mencapai di bawah 10 derajat Celcius, bermain air, tertawa, dan berbagi kebahagiaan. Bagi mereka, perjalanan yang penuh tantangan ini sepadan dengan pengalaman yang diperoleh-kebersamaan yang erat, rasa syukur yang mendalam, serta kenangan indah yang akan selalu terpatri.
Melalui kegiatan ini, para siswa menyerap hikmah mendalam tentang kerja keras, kesederhanaan, dan ketekunan, sembari menyaksikan harmoni yang mengikat manusia dengan alam dan sesamanya. Perbedaan budaya, yang awalnya tampak sebagai sekat, perlahan terungkap sebagai simpul pengikat dalam mozaik kebersamaan. Justru di tengah keberagaman itu, mereka merasakan esensi kekeluargaan yang murni, di mana hati-hati yang berlainan berpadu dalam irama harmoni yang sarat makna, melampaui sekadar interaksi, dan menyentuh inti kehidupan yang paling asasi.
Untuk mengakhiri, saya merasa bahwa puisi ini menggambarkan hikmah yang diraih dari kegiatan Ekskursi 2024 ini.