Mohon tunggu...
REYNANDA WINATA
REYNANDA WINATA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Taruna Madya (Tingkat II) Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (POLTEKIP) Angkatan 58 - Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan HAM Tahun 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Persepsi Gen Z Terhadap Program Makan Siang Gratis dalam Membangun Demokrasi dan Kesejahteraan di Masa Depan

27 Januari 2025   16:16 Diperbarui: 27 Januari 2025   16:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SD sedang lahap menyantap makanan gratis di sekolah (Sumber :  M. Ihsan / Jawa Pos Radar Solo )

Demokrasi awal di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan, terutama dengan adanya program-program sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu inisiatif terbaru adalah program makan bergizi gratis yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Program ini bertujuan untuk memastikan semua anak mendapatkan asupan gizi yang cukup, yang diharapkan dapat mengurangi angka stunting dan meningkatkan prestasi akademis. 

Program ini telah resmi dimulai di 26 provinsi dan menyasar sekitar 600.000 orang, dengan harapan memberikan dampak positif bagi kesehatan anak-anak serta mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Manfaat dari program ini tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik, tetapi juga berkontribusi pada stabilitas sosial dan ekonomi, serta memperkuat fondasi demokrasi dengan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan berdaya.

Namun, program makan siang gratis ini memunculkan beragam persepsi dan respons dari kalangan siswa, mulai dari jenjang SD hingga SMA. Siswa SD cenderung lebih kritis terhadap rasa dan variasi menu yang disajikan. Dalam sebuah video di TikTok oleh akun @muudaid, beberapa siswa SD mengeluhkan rasa makanan, seperti ayam yang dianggap “aneh,” dan menunjukkan sikap picky eater. Respons ini memicu perdebatan di kalangan netizen, dengan sebagian mengkritik siswa yang dinilai kurang bersyukur terhadap program tersebut. Beberapa netizen bahkan menyarankan agar program ini lebih diutamakan untuk anak-anak di daerah pedalaman yang lebih membutuhkan. 

Di sisi lain, respons dari siswa SMA jauh lebih positif. Dalam video yang diunggah oleh akun @rrq.evos.udin, siswa SMA terlihat antusias dan bersyukur atas makanan gratis yang mereka terima. Banyak dari mereka yang menganggap program ini sangat membantu, terutama dalam menghemat pengeluaran harian. Mereka menyatakan bahwa dengan adanya program ini, mereka bisa menabung untuk kebutuhan lainnya. Komentar positif juga mengalir dari netizen yang mendukung program tersebut, bahkan beberapa mengungkapkan harapan agar program serupa sudah ada sejak mereka bersekolah.

Selain tanggapan langsung dari siswa, program ini juga menjadi bahan konten kreatif di media sosial, seperti TikTok. Salah satu video viral berasal dari akun @abdulazizalgifari0, yang membuat parodi tentang reaksi setelah mendapatkan makan siang gratis. Video ini berhasil menarik 17 jutaan penonton dan mendapatkan banyak komentar positif, bahkan memberikan peluang endorsement bagi kreatornya. Respon kreatif ini menunjukkan bagaimana program makan siang gratis tidak hanya berdampak secara langsung pada siswa, tetapi juga menjadi tren yang menghibur sekaligus mendukung inisiatif pemerintah.

Program ini memang masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pemenuhan standar gizi, kendala logistik, hingga kritik terhadap pendanaan dan efektivitasnya dalam mengatasi stunting. Berdasarkan observasi, hanya satu dari enam jenis sajian menu yang memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 28 Tahun 2019. Untuk anak usia Sekolah Dasar, setiap porsi makan seharusnya menyediakan 500-700 kalori dan mencakup karbohidrat, protein nabati dan hewani, lemak, serta buah-buahan. Namun, kenyataannya banyak siswa mengeluhkan rasa sayuran yang pahit, variasi menu yang kurang memuaskan, serta menu yang tidak sesuai dengan selera mereka, termasuk siswa yang picky eater.

Tantangan logistik juga menjadi isu utama, seperti keterlambatan pengiriman makanan hingga dua jam di beberapa sekolah dan distribusi yang belum terorganisir dengan baik, sehingga menyebabkan pemborosan. Dari sisi pendanaan, anggaran program dianggap tidak mencukupi karena biaya per porsi makanan turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000.

Diah Saminarsih, pengamat kesehatan dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (Cisdi), menekankan pentingnya evaluasi dan perbaikan segera terhadap permasalahan ini. Menurutnya, jika tidak segera diperbaiki, bahan makanan dan anggaran yang telah digelontorkan berisiko terbuang sia-sia. Persepsi publik terhadap program ini pun terbagi. Sebagian pihak meragukan efektivitasnya dalam mengatasi stunting dan gizi buruk, meskipun juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Prita Laura, menyatakan bahwa program makan bergizi gratis sudah sesuai dengan tujuan pemerintah. Ia menjelaskan bahwa standar AKG telah dipikirkan dengan melibatkan ahli gizi di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur.

Anggaran untuk program makan siang gratis ini sempat menjadi perhatian dan menuai kritik. Awalnya, biaya per porsi makanan ditetapkan sebesar Rp15.000, namun kemudian turun menjadi Rp10.000 per porsi. Penurunan anggaran ini memicu sejumlah masalah, seperti terbatasnya kualitas bahan makanan dan berkurangnya variasi menu. Selain itu, ada kontroversi terkait penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mendanai program ini. 

Beberapa pengajar menganggap bahwa alokasi dana BOS tidak seharusnya digunakan untuk program makan siang, mengingat prioritas utama dana tersebut adalah untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini, program makan siang gratis belum menjangkau seluruh sekolah di Indonesia. Pemerataan program menjadi tantangan besar, terutama di wilayah terpencil atau pedalaman. Banyak pihak berharap agar pemerintah dapat memberikan prioritas kepada sekolah-sekolah di daerah yang aksesnya terbatas dan tingkat stuntingnya tinggi.

Program makan bergizi gratis merupakan upaya meningkatkan gizi anak sekaligus wujud penerapan nilai demokrasi. Pemerataan akses kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi bukti komitmen pemerintah memenuhi hak warga negara, khususnya anak sekolah, tanpa memandang latar belakang. Agar mencerminkan semangat demokrasi, diperlukan partisipasi masyarakat, pengawasan transparan, dan evaluasi yang jelas. Dengan pelaksanaan yang adil dan jujur, program ini diharapkan berkelanjutan serta berdampak nyata pada pembangunan sumber daya manusia berkualitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun