Kita tahu bagi orang Indonesia, hubungan seks diluar perkawinan adalah sesuatu yang tidak wajar. Tidak dibenarkan oleh mayoritas orang Indonesia khususnya yang beragama muslim.
Bahkan dalam hukum negara kita yang termuat dalam RKUHP terbaru yang mengatur hubungan seks diluar pernikahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 413 ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com
Pasal lain juga menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II." Demikian bunyi pasal 414 ayat 1 RKUHP.
Ini mempertegas bahwa teori Kate Julian menjadi tidak relevan apabila disandingkan dengan Indonesia, ketika subject yang diteliti adalah anak-anak remaja dan dewasa muda seperti halnya di Amerika Serikat.
Karena kehidupan anak remaja dan dewasa di Indonesia khususnya dalam hal seks pra nikah (diluar perkawinan) tentu sangat berbeda dengan kehidupan anak remaja dan dewasa muda di AS.
Resesi seks tidak pernah dan tak akan mungkin terjadi di Indonesia sebagaimana yang dipaparkan oleh Kate. Meski dunia sekarang semakin mengarah kepada trend global, namun soal seks agaknya masyarakat Indonesia masih menganggap hal tersebut sebagai hal yang tabu dan privat.
Hanya orang-orang yang sudah dewasa dan sudah menikahlah yang boleh membicarakan dan melakukan hubungan seks. Mereka yang melakukan hubungan seks sebelum menikah masih menjadi minoritas dinegara ini.
Akan tetapi apabila istilah resesi seks ini dikaitkan dengan keinginan sebagian besar orang untuk menunda pernikahan karena disebabkan tuntutan ekonomi, mengejar karir, atau fokus meningkatkan pendidikan, ini cukup terdengar relevan untuk negara kita yang sedang berkembang.
Agaknya banyak remaja Indonesia yang sudah mulai menyadari bahwa pernikahan bukan hanya soal seks, tapi juga soal bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mulai dari sandang, pangan, papan termasuk juga bagaimana sulitnya mengurus anak menjadi alasan banyak remaja Indonesia yang kini memilih menunda pernikahan.
Termasuk penulis yang juga memilih untuk menunda pernikahan mengingat bagaimana rumitnya pernikahan di zaman modern ini dan tingginya tuntutan hidup dan biaya ekonomi membuat penulis memilih untuk fokus pada karir dan pengembangan diri ketimbang terburu-buru untuk menikah.
Menunda pernikahan ini juga dikenal luas dengan istilah "Waithood" sebagaimana dikatakan oleh Marcia Inhorn, Profesor Antropologi Hubungan Internasional di Yale University, yakni sebuah fenomena penundaan keputusan-keputusan besar dalam generasi muda kekinian, termasuk menunda pernikahan.