Kapolri sedang melakukan Konfrensi pers terkait kasus kematian Brigadir J (Sumber: kompas.com)
Teka-teki tewasnya Brigadir J akibat baku tembak dengan rekannya sesama polisi yakni Bharada E masih terus bergulir hingga kini di publik. Peristiwa ini sontak mendapat sorotan dari banyak pihak karena dinilai terdapat beberapa hal yang menarik untuk dikaji dan didalami.
Pertama, peristiwa ini melibatkan petinggi polri. Karena TKP terjadinya peristiwa tersebut ada di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo. Kedua, mendapat perhatian khusus dari Menko Polhukam, Komisi 3 DPR, hingga Presiden yang menginginkan kasus ini diselesaikan secara transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Buntut daripada pristiwa ini akhirnya Kapolri sampai turun tangan dan membentuk tim khusus yang dipimpin langsung oleh Wakapolri melibatkan 5 Jenderal senior sekaligus dan mengikutsertakan beberapa pihak eksternal seperti ahli forensik, Kompolnas dan Komnas HAM.
Kapolri juga memutuskan untuk sementara menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam disusul juga menonaktifkan Karo Paminal Propam Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto.Â
Hal ini ditempuh sebagai langkah guna penyidikan yang objektif, transaparan dan akuntabel seperti yang disampaikannya dalam konfrensi pers beberapa waktu yang lalu.
Sebagai orang yang menggemari film dan series bergenre crime dan investigation, saya tentu ikut serius mengamati dan mencermati perkembangan kasus ini dari hari ke hari. Bahkan topik mengenai kasus ini masih terus bergaung di twitter hingga artikel ini ditulis.
Seru sekali, itulah kira-kira yang ada dalam pikiran ini. Saya bagai menikmati sebuah film dengan alur cerita yang penuh misteri dan teka-teki yang bisa saja diakhiri dengan plot twist yang mengejutkan.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais TNI) Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto saja sampai menyebut pristiwa ini langka dan mungkin hanya satu-satunya di dunia. Karena menurutnya kasus ini menarik, dimana polisi menembak polisi, dirumah polisi, ditangani oleh polisi dan yang mati cctv.
Sejak pristiwa itu pertama kali diumumkan dan kemudian polri menggelar beberapa kali konfrensi pers melalu Karopenmas dan Kapolres Jaksel, pengamat dan ahli kriminologi pun menyebut bahwa diperkirakan baru sekitar 5% fakta yang baru terungkap kepublik.
Artinya masih ada bongkahan es besar dan kebenaran yang sesungguhnya yang belum terungkap dibalik pristiwa ini. Nama baik Polri dipertaruhkan, Kapolri sedang diuji kredibilitasnya dan publik terus menunggu fakta yang sesungguhnya.
Kita bisa mencermati kejanggalan-kejanggalan yang sejak awal memang mengundang tanda tanya besar. Seperti beberapa kejanggalan-kejanggalan berikut ini:
Pertama, keterangan polri yang berubah-ubah dan kofrensi pers yang baru dilakukan setelah tiga hari kejadian.
Kedua, cctv yang dikatakan rusak selama kejadian, namun baru-baru ini Polri menyatakan sudah menemukan cctv tersebut.
Ketiga, pistol yang digunakan oleh Bharada E jenis Glock-17 disinyalir adalah pistol yang biasa digunakan oleh perwira tinggi bukan oleh golongan tamtama.
Keempat, polri menyatakan bahwa ini adalah pristiwa baku tembak, namun faktanya pihak keluarga menyebut menemukan beberapa luka sayatan dan luka memar di beberapa bagian tubuh brigadir J.
Kelima, pada saat menggelar konfrensi pers, Polri tidak menunjukan barang bukti, baik berupa pistol atau pun butir peluru yang katanya di temukan di TKP.
Keenam, pihak keluarga brigadir J mengaku smartphone keluarganya sempat diretas pasca kejadian meninggal puteranya tersebut.
(Sumber: tangkapan layar dari kompas.com)
Dari kejanggalan-kejanggalan tersebut, kita tentu saja sudah bisa menerka-nerka bahwa mungkin saja ada sesuatu yang disembunyikan.
Mengutip sebuah teori yang dikatakan oleh Prof Eddy OS Hiariej, Ahli Hukum Pidana seperti yang tertulis dalam Harian Kompas edisi 16 Oktober 2012 Â silam menyebutkan bahwa dalam tubuh kepolisian ada semacam kultur yang disebut The Blue Wall of Silence. Yakni salahsatu kultur polisi yang berlaku universal untuk tidak melaporkan tindakan buruk teman sejawat petugas polisi.
Larry E Sulivan dan Marie Simonetti Rosen dalam Encyclopedia of Law Enforcement menulis bahwa The Blue Wall of Silence menggambarkan adanya peraturan atau semacam larangan tidak resmi dalam kultur polisi untuk tidak melaporkan tindakan buruk sesama polisi.
Tindakan buruk tersebut bisa beraneka ragam. Mulai dari tindakan asusila sampai pada tindakan pelanggaran hukum, termasuk kejahatan. Pada awalnya kultur ini berlaku bagi tindakan buruk yang relatif ringan, namun dalam perkembangannya, The Blue Wall of Silence juga bahkan berlaku bagi tindak kejahatan yang serius.
Hal ini kebanyakan untuk melindungi tindakan buruk atasan atau seniornya. Meski pada hakikatnya The Blue Wall of Silence adalah untuk melindungi nama baik Korps Kepolisian.
Pertanyaannya, adakah The Blue Wall of Silence dalam kasus kematian Brigadir J ini? Mampukah Kapolri bersikap tegas dan transparan dalam mengungkap kasus ini?
Tentu kita masih akan menunggu fakta yang sebenarnya dari hasil penyidikan tim khusus yang dibentuk Kapolri dan saya percaya tim ini akan bekerja dengan profesional sehingga bisa membuktikan bahwa Polri memang betul-betul PRESISI dan bisa dipercaya publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H